Wednesday, March 12, 2014

bersamA musiM

Aku di musim yang kering.

Udara gerah tanpa titik air. Cuaca panas menghanguskan semua. Daun tak lagi hijau. Ia telah kerontang hampir luruh dari dahan. Bahkan sebagian telah luruh tak berdaya, dimainkan angin, melayang hingga ke tanah.

Bumi yang tak lagi hijau. Permadani nan semerbak telah berubah menjadi coklat. Pucat dan tak lagi bernafas. Tak ada lagi rumput hijau yang tebal dan empuk di duduki. Tak ada permadani lapang tempatmu berlari, atau mungkin berbaring, berguling seiring tawamu. Saat ini musim kering, semuanya kering.

Aku melewati musim kering.

Diawali kilat yang menyambar-nyambar bersama petir nan garang, seakan mengancam jiwaku. Aku takut, lalu mencari perlindungan yang mungkin aman, yang mungkin bisa selamatkan ku dari amuk kilat dan petir. Aku berlari-lari ketakutan ketika tiba-tiba angin pun berlalu dengan dengan sangat cepat, seakan ingin menerbangkan pepohonan. Tapi pohon itu tak rela berlalu. Dahan dan daunnya pun menolak anggun ajakan sang angin. Meliuk merunduk, apalagi yang dapat dilakukannya selain itu?

Aku masih berlari. Kilat, petir, angin, oh aku sangat ketakutan. Langit yang tadinya terang benderang, mendadak gelap gulita. Lalu meneteslah air dari langit. Siapa pula yang menangis di atas sana? Apakah hatiku yang bersedih bersemayam di langit? Dan saat ini sedang meng-ekspresi-kan kesedihannya? Langit menangis sejadi-jadinya. Aku yang masih berlari menjadi kuyup sekujur tubuhku. Aku berhenti berlari. Aku mencari pemilik air mata itu di langit. Kemana hatiku yang sedang menangis? Lelah dan perih mataku menentang hujan yang tak juga henti.

Aku di musim semi. Setelah tangisan langit itu berlalu, perlahan ada yang berubah. Kilat dan petir berlalu pergi. Langit kembali biru, ada senyum ceria surya di sana. Dari mana pula datangnya burung-burung yang tak henti berkicau. Iya membawakan lagu baru dalam kicaunya. Tentang sebuah taman yang penuh bunga diterbangi ribuan kupu-kupu.

Aku kah pemilik taman? Mengapa aku telah berdiri di taman ini? Di atas hamparan permadani yang telah hijau. Di bawah pohon-pohon yang telah mendapatkan daunnya kembali.

Ahh aku tak boleh melewatkan waktu. Aku harusnya menikmati permadani ini, memetik bunga yang semerbak, berkejaran dengan kupu-kupu. Aku harus menikmati surga ini. Sebelum musim berikutnya merenggutnya dariku.

Aku kembali di musim kering

Dalam perjalananku kutemukan sebuah lembah sunyi yang telah kering, merindukan titik air mata langit. Lelah. Aku tak mampu melanjutkan langkahku yang seret. Maka kusandarkan tubuh ringkihku pada pohon yang telah sangat haus pula. Aku duduk lunglai pada rumput-rumput yang meregang nyawa. Ya baiklah, kita bersama-sama menantikan musim itu, ketika benih kehidupan dibagikan oleh malaikat Tuhan.

Kita disini saja, bersama menanti berlalu-nya musim nan kering Kita disini saja, bersama menanti datangnya musim yang semi. 260214 @sya

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG