Lelaki dari timur itu lalu berpesan, dia menitip adik cantiknya.
“Titip adik cantikku!”
Aku terenyuh mendengar
pesan Bang Iful pada pimpinanku di akhir perbincangan mereka. Kulihat Ibu Maya
mengangguk sambil tersenyum. Lalu keduanya melihat ke arahku yang kusambut
dengan senyum hormat sambil sedikit membungkuk.
Mereka berdua
melangkah ke arahku. Aku memang berdiri agak jauh, lebih dekat ke pintu setelah
Ibu Maya berpamitan tadi. Sebagai bawahan aku cukup paham bahwa aku tidak boleh
berdiri bersaman dengan Ibu. Setelah Ibu Maya menutup diskusinya tadi, aku
segera mengemasi kertas, laptop lalu beranjak ke dekat pintu.
Bang Iful mendekat,
meraih pundakku. Lalu ditepuknya pelan-pelan. “Kerja yang benar yah, dan jaga
diri baik-baik!”
“Insya Allah, Bang, eh
Pak.!”
Bang Iful dan Ibu Maya
terkekeh mendengar jawabanku yang sedikit gelagapan.
“Santai, Lia. Kita
tidak sedang rapat lagi. Ini pesan khusus abang buat dirimu. Ini bukan diskusi
bisnis lagi.” Ucap Bang Iful sambil merapihkan jilbabku.
“Baiklah, Pak Saiful,
kami berangkat. Selanjutnya Lia akan mengirimkan proposalnya lewat email!,” Ibu
Maya berjabat tangan dengan Bang Iful lalu melangkah.
Aku mengekor di
belakangnya. Sebelum begitu jauh, aku berbalik melambaikan tangan. “Pamit ya, Bang!”
Sore ini hanya aku dan
Ibu Maya ke kantor Bang Iful. Kang Bahar yang biasanya mengantar kami lagi
sakit. Ibu Maya membawa mobilnya dengan santai. Harusnya aku yang menyopiri,
tapi sejak di rumah tidak ada mobil lagi, aku tidak pernah berani membawa mobil.
Takut jika mobil orang jadi lecet atau kenapa-napa. Takut karena tidak punya
cukup uang untuk ongkos perbaikannya.
“Kalian bersepupu yah?”
Ibu Maya memulai pembicaraan sambil matanya tidak lepas dari jalan.
“Nggak, Bu.”
“Terus, hubungan
saudaranya dari mana?”
Sudah kuduga
sebelumnya bahwa Ibu Maya akan bertanya tentang hubungan aku dengan Bang Iful.
“Dulu kami satu
organisasi, Bu. Kebetulan Bang Iful senior Lia. Alhamdulillah sejak itu, Bang
Iful selalu baik sama Lia.
“Oh. Jarang lho ada
orang lain yang begitu baik dalam waktu lama!”
“Iya, Bu. Makanya Lia
sangat bersyukur kenal dengan Bang Iful. Dia benar-benar menganggap Lia adiknya.”
“Benar, Lia. Ibu juga
melihat begitu. Di awal kerjasama sebenarnya Saiful sudah menyampaikan kalau
ada adiknya di kantor. Cuma waktu itu Ibu belum tau Lia yang mana. Kan ada
banyak nama Lia. Ternyata kamu yah, Kamelia.”
Ibu Maya membawa mobil
dengan pelan. Dia meminta aku menemaninya berbuka puasa sebelum kami pulang. Aku
sih iya-iya saja. Kami menyusuri Jalan Beringin, di mana ada banyak kafe. Dia lalu
memarkir mobilnya di kafe Daffa. Tanpa banyak bicara lagi, kami memesan makanan
sambil menunggu beduk. Selesai makan, Ibu Maya mengantarku pulang dengan pesan aku cepat-cepat ke kantor besok
pagi untuk merampungkan proposal untuk kemudian ku kirim ke email kantor Bang
Iful.
Pukul 21 lewat 17
menit aku merebahkan badan. Rasanya hari ini cukup penat setelah setengah hari
tadi menemani Ibu Maya.
Pesan Bang Iful tadi
masih terngiang-ngiang di telingaku. Ini bukan yang pertama kali dia berpesan
pada pimpinanku. Empat tahun lalu dia pun berpesan pada Pimpinan yang
sebelumnya. Kala itu Pak Alam yang jadi Pimpinan di kantor. Bang Iful baru saja
dipindahtugaskan di kantornya. Dan begitu bertemu dengan Pak Alam di sebuah
acara dia lalu menyampaikan ada adiknya di kantor Pak Alam.
Pikiranku lalu kembali
ke masa lalu.
Pada masa Pak Alam
menjadi Pimpinan, pernah satu kali kami terlambat menyusun dan menyampaikan
laporan. Itu tak lepas dari kebiasaan burukku yang begitu hoby traveling
sehingga laporan terbengkalai. Bang Iful kemudian memberikan surat teguran
kepada kami. Bahkan kemudian aku dipanggil menghadap untuk memberi alasan
keterlambatan laporan. Sekitar dua jam aku bersama dua teman diceramahi. Setelah
dia puas, kemudian aku diberinya waktu tiga hari untuk menyelesaikan laporan
kemudian mengantarkan ke mejanya.
Saat kami pamit, dia
merengkuh ku.
“Maafkan abang, harus
tegas padamu. Supaya kamu bisa bertanggung jawab. Marahnya abang hari ini
maksudnya agar kamu bisa mengatur waktu dengan baik, agar kamu bisa bekerja
dengan baik. Abang paham kamu suka jalan, tapi jangan abaikan tanggung jawab. Ingat,
kamu di gaji.” Dia memelukku.
Aku tiba-tiba tidak
tahan. Air mata yang kubendung sejak tadi akhirnya tumpah. Aku sesengukan dalam
pelukannya.
“Abang yakin kamu bisa.
Kamu adik abang lho, dan abang mengandalkanmu.” Tepukannya di bahuku seperti
memberiku energi.
“Insya Allah, Bang.
Lia janji jadi lebih baik. Beri kesempatan, Lia buktikan!”
Sejak itu, aku bisa
mengontrol pekerjaan dengan baik. Memang pada akhirnya aku semakin jarang
traveling. Kecuali ada libur panjang.
Bang Iful, begitu aku
menyapanya. Ahmad Saifullah, lelaki dari timur.
Keakraban kami berawal
dari seringnya kami terlibat obrolan di sela rapat rutin organisasi kami. Dia yang
banyak pengalaman suka berkisah, dan kebetulan aku adalah pendengar yang baik. Kisahnya
yang tidak dapat kulupa adalah tentang pengalamannya di pedalaman Aceh. Rasa penasarannya
yang besar kala itu mengantarnya melihat dari dekat tanaman ganja yang
disebut-sebut banyak disana. Lalu siapa sangka kemudian dia hampir dapat
masalah besar dari rasa penasarannya itu. Karena ketahuan mengintip kebun ganja
waktu itu hampir saja nyawanya melayang. Untung kemudian penjaga kebun
membebaskannya.
Di lain hari Bang Iful
berkisah tentang sahabtnya, gadis manis dari Lombok. Kulit gadis Lombok yang
eksotis itu kemudian mampu memikat Bang Iful hingga mereka menjadi lebih dekat.
Sayangnya mereka tidak berjodoh. Dua kisah
itu yang paling lekat di kepalaku.
Bang Iful adalah tipe
cowok yang kakak banget. Pintar, penyayang dan perhatian. Beberapa kali kami
bertemu di pasar. Dia tidak rela melihat istrinya membawa belanjaan dapur yang
berat. Sehingga terkadang tugas berbelanja dia ambil alih. Berbekal catatan dia
menyusuri deretan penjual sayur maupun ikan. Pernah sekali aku bertanya tentang
stock cowok yang seperti dia, apakah masih ada?
“Bang, Lia mau dapat
cowok yang seperti abang. Apa masih ada yah?”
Bang Iful kemudian
mengelus kepalaku.
“Kamu akan dapat cowok
yang lebih baik dari abang. Percayalah!”
“Koq abang tahu?”
“Karena kalo dia
kurang baik, abang yang akan bilang sama dia, agar dia menyayangi adik Bang
Iful. Agar dia menjagamu.” Senyumnya mengembang.
Aku kini percaya. Bang
Iful telah melakukannya. Bahkan pada pimpinanku pun bang Iful selalu
menyampaikan agar menjagaku. Akupun percaya bahwa selalu ada orang yang
menyayangi dan peduli pada kita, meskipun mungkin kita tidak menyadarinya. Jadi
apa alasan kita untuk meratapi hidup?
Lelaki dari timur yang
telah menjadi abangku itu, membuktikan betapa dia menyayangiku, meski kasih
sayangnya itu tak dapat dia tunjukkan setiap saat.
#based true story
#sumber photo : https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fcucuhayatihome.files.wordpress.com%2F2019%2F01%2Fkartun.jpg%3Fw%3D640&imgrefurl=https%3A%2F%2Fcucuhayati.home.blog%2F2019%2F01%2F07%2Fkakak-adik%2F&docid=rVic_1KJyLeqmM&tbnid=1RGkwPmAthc_RM%3A&vet=10ahUKEwjg8NvT8J3iAhUJ7HMBHcU3AmMQMwhDKAkwCQ..i&w=300&h=225&safe=strict&bih=607&biw=1280&q=kakak%20adik%20kartun&ved=0ahUKEwjg8NvT8J3iAhUJ7HMBHcU3AmMQMwhDKAkwCQ&iact=mrc&uact=8#h=225&imgdii=1RGkwPmAthc_RM:&vet=10ahUKEwjg8NvT8J3iAhUJ7HMBHcU3AmMQMwhDKAkwCQ..i&w=300