Wednesday, May 15, 2019

LELAKI DARI TIMUR


Lelaki dari timur itu lalu berpesan, dia menitip adik cantiknya.

“Titip adik cantikku!”
Aku terenyuh mendengar pesan Bang Iful pada pimpinanku di akhir perbincangan mereka. Kulihat Ibu Maya mengangguk sambil tersenyum. Lalu keduanya melihat ke arahku yang kusambut dengan senyum hormat sambil sedikit membungkuk.

Mereka berdua melangkah ke arahku. Aku memang berdiri agak jauh, lebih dekat ke pintu setelah Ibu Maya berpamitan tadi. Sebagai bawahan aku cukup paham bahwa aku tidak boleh berdiri bersaman dengan Ibu. Setelah Ibu Maya menutup diskusinya tadi, aku segera mengemasi kertas, laptop lalu beranjak ke dekat pintu.

Bang Iful mendekat, meraih pundakku. Lalu ditepuknya pelan-pelan. “Kerja yang benar yah, dan jaga diri baik-baik!”
“Insya Allah, Bang, eh Pak.!”
Bang Iful dan Ibu Maya terkekeh mendengar jawabanku yang sedikit gelagapan.
“Santai, Lia. Kita tidak sedang rapat lagi. Ini pesan khusus abang buat dirimu. Ini bukan diskusi bisnis lagi.” Ucap Bang Iful sambil merapihkan jilbabku.

“Baiklah, Pak Saiful, kami berangkat. Selanjutnya Lia akan mengirimkan proposalnya lewat email!,” Ibu Maya berjabat tangan dengan Bang Iful lalu melangkah.
Aku mengekor di belakangnya. Sebelum begitu jauh, aku berbalik melambaikan tangan. “Pamit ya, Bang!”

Sore ini hanya aku dan Ibu Maya ke kantor Bang Iful. Kang Bahar yang biasanya mengantar kami lagi sakit. Ibu Maya membawa mobilnya dengan santai. Harusnya aku yang menyopiri, tapi sejak di rumah tidak ada mobil lagi, aku tidak pernah berani membawa mobil. Takut jika mobil orang jadi lecet atau kenapa-napa. Takut karena tidak punya cukup uang untuk ongkos perbaikannya.

“Kalian bersepupu yah?” Ibu Maya memulai pembicaraan sambil matanya tidak lepas dari jalan.
“Nggak, Bu.”
“Terus, hubungan saudaranya dari mana?”
Sudah kuduga sebelumnya bahwa Ibu Maya akan bertanya tentang hubungan aku dengan Bang Iful.
“Dulu kami satu organisasi, Bu. Kebetulan Bang Iful senior Lia. Alhamdulillah sejak itu, Bang Iful selalu baik sama Lia.
“Oh. Jarang lho ada orang lain yang begitu baik dalam waktu lama!”
“Iya, Bu. Makanya Lia sangat bersyukur kenal dengan Bang Iful. Dia benar-benar menganggap Lia adiknya.”
“Benar, Lia. Ibu juga melihat begitu. Di awal kerjasama sebenarnya Saiful sudah menyampaikan kalau ada adiknya di kantor. Cuma waktu itu Ibu belum tau Lia yang mana. Kan ada banyak nama Lia. Ternyata kamu yah, Kamelia.”

Ibu Maya membawa mobil dengan pelan. Dia meminta aku menemaninya berbuka puasa sebelum kami pulang. Aku sih iya-iya saja. Kami menyusuri Jalan Beringin, di mana ada banyak kafe. Dia lalu memarkir mobilnya di kafe Daffa. Tanpa banyak bicara lagi, kami memesan makanan sambil menunggu beduk. Selesai makan, Ibu Maya mengantarku pulang  dengan pesan aku cepat-cepat ke kantor besok pagi untuk merampungkan proposal untuk kemudian ku kirim ke email kantor Bang Iful.
Pukul 21 lewat 17 menit aku merebahkan badan. Rasanya hari ini cukup penat setelah setengah hari tadi menemani Ibu Maya.
Pesan Bang Iful tadi masih terngiang-ngiang di telingaku. Ini bukan yang pertama kali dia berpesan pada pimpinanku. Empat tahun lalu dia pun berpesan pada Pimpinan yang sebelumnya. Kala itu Pak Alam yang jadi Pimpinan di kantor. Bang Iful baru saja dipindahtugaskan di kantornya. Dan begitu bertemu dengan Pak Alam di sebuah acara dia lalu menyampaikan ada adiknya di kantor Pak Alam.

Pikiranku lalu kembali ke masa lalu.
Pada masa Pak Alam menjadi Pimpinan, pernah satu kali kami terlambat menyusun dan menyampaikan laporan. Itu tak lepas dari kebiasaan burukku yang begitu hoby traveling sehingga laporan terbengkalai. Bang Iful kemudian memberikan surat teguran kepada kami. Bahkan kemudian aku dipanggil menghadap untuk memberi alasan keterlambatan laporan. Sekitar dua jam aku bersama dua teman diceramahi. Setelah dia puas, kemudian aku diberinya waktu tiga hari untuk menyelesaikan laporan kemudian mengantarkan ke mejanya.
Saat kami pamit, dia merengkuh ku.
“Maafkan abang, harus tegas padamu. Supaya kamu bisa bertanggung jawab. Marahnya abang hari ini maksudnya agar kamu bisa mengatur waktu dengan baik, agar kamu bisa bekerja dengan baik. Abang paham kamu suka jalan, tapi jangan abaikan tanggung jawab. Ingat, kamu di gaji.” Dia memelukku.
Aku tiba-tiba tidak tahan. Air mata yang kubendung sejak tadi akhirnya tumpah. Aku sesengukan dalam pelukannya.
“Abang yakin kamu bisa. Kamu adik abang lho, dan abang mengandalkanmu.” Tepukannya di bahuku seperti memberiku energi.
“Insya Allah, Bang. Lia janji jadi lebih baik. Beri kesempatan, Lia buktikan!”

Sejak itu, aku bisa mengontrol pekerjaan dengan baik. Memang pada akhirnya aku semakin jarang traveling. Kecuali ada libur panjang.

Bang Iful, begitu aku menyapanya. Ahmad Saifullah, lelaki dari timur.
Keakraban kami berawal dari seringnya kami terlibat obrolan di sela rapat rutin organisasi kami. Dia yang banyak pengalaman suka berkisah, dan kebetulan aku adalah pendengar yang baik. Kisahnya yang tidak dapat kulupa adalah tentang pengalamannya di pedalaman Aceh. Rasa penasarannya yang besar kala itu mengantarnya melihat dari dekat tanaman ganja yang disebut-sebut banyak disana. Lalu siapa sangka kemudian dia hampir dapat masalah besar dari rasa penasarannya itu. Karena ketahuan mengintip kebun ganja waktu itu hampir saja nyawanya melayang. Untung kemudian penjaga kebun membebaskannya.

Di lain hari Bang Iful berkisah tentang sahabtnya, gadis manis dari Lombok. Kulit gadis Lombok yang eksotis itu kemudian mampu memikat Bang Iful hingga mereka menjadi lebih dekat. Sayangnya mereka tidak berjodoh.  Dua kisah itu yang paling lekat di kepalaku.

Bang Iful adalah tipe cowok yang kakak banget. Pintar, penyayang dan perhatian. Beberapa kali kami bertemu di pasar. Dia tidak rela melihat istrinya membawa belanjaan dapur yang berat. Sehingga terkadang tugas berbelanja dia ambil alih. Berbekal catatan dia menyusuri deretan penjual sayur maupun ikan. Pernah sekali aku bertanya tentang stock cowok yang seperti dia, apakah masih ada?

“Bang, Lia mau dapat cowok yang seperti abang. Apa masih ada yah?”
Bang Iful kemudian mengelus kepalaku.
“Kamu akan dapat cowok yang lebih baik dari abang. Percayalah!”

“Koq abang tahu?”
“Karena kalo dia kurang baik, abang yang akan bilang sama dia, agar dia menyayangi adik Bang Iful. Agar dia menjagamu.” Senyumnya mengembang.

Aku kini percaya. Bang Iful telah melakukannya. Bahkan pada pimpinanku pun bang Iful selalu menyampaikan agar menjagaku. Akupun percaya bahwa selalu ada orang yang menyayangi dan peduli pada kita, meskipun mungkin kita tidak menyadarinya. Jadi apa alasan kita untuk meratapi hidup?
Lelaki dari timur yang telah menjadi abangku itu, membuktikan betapa dia menyayangiku, meski kasih sayangnya itu tak dapat dia tunjukkan setiap saat.

#based true story
#sumber photo  : https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fcucuhayatihome.files.wordpress.com%2F2019%2F01%2Fkartun.jpg%3Fw%3D640&imgrefurl=https%3A%2F%2Fcucuhayati.home.blog%2F2019%2F01%2F07%2Fkakak-adik%2F&docid=rVic_1KJyLeqmM&tbnid=1RGkwPmAthc_RM%3A&vet=10ahUKEwjg8NvT8J3iAhUJ7HMBHcU3AmMQMwhDKAkwCQ..i&w=300&h=225&safe=strict&bih=607&biw=1280&q=kakak%20adik%20kartun&ved=0ahUKEwjg8NvT8J3iAhUJ7HMBHcU3AmMQMwhDKAkwCQ&iact=mrc&uact=8#h=225&imgdii=1RGkwPmAthc_RM:&vet=10ahUKEwjg8NvT8J3iAhUJ7HMBHcU3AmMQMwhDKAkwCQ..i&w=300

Anting


Anting, Pasanganmu Di Mana?
Aku mengenakan anting, sejak bayi, sejak ibu menindik telingaku. Kebiasaan itu lalu terbawa hingga sekarang. Akhirnya merasa aneh ketika tidak ada perhiasan di telinga. Walaupun anting tersebut tidak lagi kelihatan karena mengenakan hijab. Mengenakan anting bukan lagi persoalan mau menunjukkan model anting tapi sudah seperti sebuah kebutuhan.

Sejak kecil aku selalu mengenakan anting dengan model yang sederhana, yaitu yang berupa lingkaran kecil dengan hiasan satu bola-bola kecil. Semua itu tentunya tak lepas dari ibu yang memang memilihkan model demikian. Alasanya biar tahan lama. Takutnya jika modelnya ramai, berjuntai-juntai, malah nanti antingnya cepat putus. Sedangkan ibu tidak bisa sering-sering membeli anting untuk kami, anak-anaknya. Kebetulan kami ada tiga orang perempuan. Kami hanya berganti anting jika anting kami hilang sebelah. Bisanya jika hilang sebelah, ibu lalu mengajak kami ke toko emas dan melakukan transaksi tukar tambah. Tentunya modelnya sama.
Model anting itu kemudian lekat denganku, bahkan setelah ibu tiada, bahkan setelah aku bisa memilih dan membeli sendiri. Aku masih mencari model lingkaran kecil plus satu bola-bola kecil sebagai hiasannya. 

Pernah satu kali aku menganti anting. Tentunya aku masih mencari model andalan ibuku. Sayangnya hari itu model tersebut tidak ada di toko langganan kami. Pemilik toko lalu menunjukkan model yang tidak jauh beda. Masih lingkaran kecil dengan hiasan bola-bola, tapi jumlah bolanya lebih banyak, 14 bola. Aku lalu memilih model tersebut. Bertahun-tahun aku memakai model anting dengan model bola-bola yang lebih banyak.

Suatu hari, sebelah antingku hilang. Setelah mencari kemana-mana, tidak juga kutemukan. Akhirnya aku kembali ke toko emas dan melakukan tukar tambah, tentunya dengan model yang sama. Tanpa kuduga, beberapa waktu kemudian, aku menemukan anting sebelah yang hilang itu.
Anting hasil tukar tambah inilah yang kupakai hingga 12 Mei kemarin. Sudah cukup lama. Selama memakainya, telah beberapa kali pula hilang. Tapi belajar dari kejadian sebelumnya, tiap kali hilang aku memilih mencarinya dari pada melakukan tukar tambah di toko emas. Aku berharap selalu dapat menemukannya kembali.

Ini kali yang ketiga antingku hilang. Setelah melakukan pencarian di kamar tidur, di ruang nonton, di kamar mandi, tak juga kutemukan. Lalu teringat malam terakhir aku memakainya, aku sempat ke kafe. Kalau misalnya jatuh di kafe, ya apa boleh buat, aku sudah ikhlas. Tapi pulang dari kafe aku singgah di rumah teman. Semoga saja anting yang sebelah itu masih dapat kutemukan.
Kemungkinan terburuk kalaupun benar-benar hilang, maka anting yang sebelah yang ada padaku ini akan kusimpan, sebagai anting kenangan.

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG