Monday, January 26, 2009

saaT kitA angkuH

kau angkuh
kupun demikian
ta'kan ada titik temu

sampai kapan seperti ini?
aku rindu hari2 kita

Tuesday, January 13, 2009

jenG, bersamA kainnyA

Berlutut

Tangannya sibuk mengurai benang kusut di pinggiran selembar kain yang lusuh.

Terik yang melelehkan peluh, debu yang hinggap...

Tak sedikit mengganggu asyiknya.

Aku berdiri tepat di belakangnya. Mengawasi tangannya yang dengan tekun mengurai benang kusutnya.

“Jeng”, panggilku. Aku terlonjak kaget (juga) mendengar suaraku. Kepala itu berputar, menoleh ke arahku.

“Kainnya sudah lusuh, diganti saja dengan kain yang baru, nanti kita cari kain yang motifnya persis sama dengan kainmu itu.”

Kepala itu kembali berputar ke arah semula. Tunduk terpaku pada kain yang lusuh. Usulku tadi bagai angin lalu. Aku pun tak mengerti apa makna kain itu baginya. Tak lebih dari selembar kain berukuran 1 kali 1 meter. Motif burung meraknya pun telah mulai pudar. Menandakan betapa telah lamanya kain itu di gunakan.

”Untuk apa kain itu kau gantungkan di jendelamu? Kalau memang kau sayang kain itu, jaga baik-baik, simpan di lemari, jangan biarkan terkena sinar matahari supaya warnanya tidak pudar.” Suaraku lagi.

”Kain ini, aku gantungkan di jendela, agar aku tahu saat angin masih berhembus, berlalu di depan jendelaku.” Kepala itu sekarang menghadap kepadaku.

”Agar wangi kain ini terbang bersama angin. Melintasi hutan, gunung, turun ke lembah, menyusuri sungai, hingga berlabuh ke laut.” Kepala itu mendongak, tengadah menatap awan.

Ah.. dia memulai lagi, perjalanan wisata bersama imajinasinya. Aku akan ditinggalkannya beberapa saat disampingnya. Detik berikutnya Jeng (begitu aku menyapanya-aku tidak tahu siapa namanya) telah berada entah di negeri yang mana.

Matahari condong ke barat. Semburat jingga membentuk sapuan yang sangat indah. Jeng tak peduli walau dia menatap kesana. Dia masih di tempatnya tadi, tersenyum, terpejam, kadang berbisik.

Kakiku mulai pegal. Berdiri menunggui Jeng yang sedang berwisata imajinasi bukanlah pekerjaan yang mudah. Tapi anehnya, aku selalu enggan beranjak dari sisinya. Aku menyimpan seribu tanya tentang kain lusuhnya. Enam bulan bersamanya tidak juga mampu membuat aku mengerti makna kain lusuh itu.

”Adakah ia pemberian seseorang yang sangat berarti?”

Perlahan kepala itu bergerak. Menatap datar ke barisan pohon yang berada di sisi kiri kami. Tarikan nafasnya meningkahi desau angin.

Lalu matanya berpindah menatapku. Lekat memandangku, seakan mencari sesuatu disana.

”Aku tidak menemukannya di matamu. Pantaslah engkau tidak mengerti, sama dengan orang-orang yang bertemu aku sebelumnya.”

Jeng mendekap kain lusuhnya.

”Adalah rindu yang kau jaga, tak kau lepas sejenak pun. Kau hidupkan dalam dadamu agar kau selalu punya harapan. Berharap angin berhembus membawa wangi rindumu mencari sosok yang membuat engkau merindu.”

”Aku tidak mengerti, Jeng.

”Kain ini adalah hatiku. Yang pudar, yang rapuh yang hampir tak berbentuk yang sama sekali tidak menarik karena terjajah rindu.” Dia berhenti. Kembali menarik nafasnya. Sedangkan aku yang tak menyangka dia berkata demikian, menjelaskan makna kain itu, menjadi tercekat.

”Kain akan selalu ku jaga. Seperti aku menjaga agar selalu mempunyai hati, walaupun telah lusuh, agar aku selalu memiliki rindu walau telah lusuh. Lebih baik memiliki hati yang lusuh dari pada tidak punya hati sama sekali.

jenG, bersamA kainnyA

Berlutut

Tangannya sibuk mengurai benang kusut di pinggiran selembar kain yang lusuh.

Terik yang melelehkan peluh, debu yang hinggap...

Tak sedikit mengganggu asyiknya.

Aku berdiri tepat di belakangnya. Mengawasi tangannya yang dengan tekun mengurai benang kusutnya.

“Jeng”, panggilku. Aku terlonjak kaget (juga) mendengar suaraku. Kepala itu berputar, menoleh ke arahku.

“Kainnya sudah lusuh, diganti saja dengan kain yang baru, nanti kita cari kain yang motifnya persis sama dengan kainmu itu.”

Kepala itu kembali berputar ke arah semula. Tunduk terpaku pada kain yang lusuh. Usulku tadi bagai angin lalu. Aku pun tak mengerti apa makna kain itu baginya. Tak lebih dari selembar kain berukuran 1 kali 1 meter. Motif burung meraknya pun telah mulai pudar. Menandakan betapa telah lamanya kain itu di gunakan.

”Untuk apa kain itu kau gantungkan di jendelamu? Kalau memang kau sayang kain itu, jaga baik-baik, simpan di lemari, jangan biarkan terkena sinar matahari supaya warnanya tidak pudar.” Suaraku lagi.

”Kain ini, aku gantungkan di jendela, agar aku tahu saat angin masih berhembus, berlalu di depan jendelaku.” Kepala itu sekarang menghadap kepadaku.

”Agar wangi kain ini terbang bersama angin. Melintasi hutan, gunung, turun ke lembah, menyusuri sungai, hingga berlabuh ke laut.” Kepala itu mendongak, tengadah menatap awan.

Ah.. dia memulai lagi, perjalanan wisata bersama imajinasinya. Aku akan ditinggalkannya beberapa saat disampingnya. Detik berikutnya Jeng (begitu aku menyapanya-aku tidak tahu siapa namanya) telah berada entah di negeri yang mana.

Matahari condong ke barat. Semburat jingga membentuk sapuan yang sangat indah. Jeng tak peduli walau dia menatap kesana. Dia masih di tempatnya tadi, tersenyum, terpejam, kadang berbisik.

Kakiku mulai pegal. Berdiri menunggui Jeng yang sedang berwisata imajinasi bukanlah pekerjaan yang mudah. Tapi anehnya, aku selalu enggan beranjak dari sisinya. Aku menyimpan seribu tanya tentang kain lusuhnya. Enam bulan bersamanya tidak juga mampu membuat aku mengerti makna kain lusuh itu.

”Adakah ia pemberian seseorang yang sangat berarti?”

Perlahan kepala itu bergerak. Menatap datar ke barisan pohon yang berada di sisi kiri kami. Tarikan nafasnya meningkahi desau angin.

Lalu matanya berpindah menatapku. Lekat memandangku, seakan mencari sesuatu disana.

”Aku tidak menemukannya di matamu. Pantaslah engkau tidak mengerti, sama dengan orang-orang yang bertemu aku sebelumnya.”

Jeng mendekap kain lusuhnya.

”Adalah rindu yang kau jaga, tak kau lepas sejenak pun. Kau hidupkan dalam dadamu agar kau selalu punya harapan. Berharap angin berhembus membawa wangi rindumu mencari sosok yang membuat engkau merindu.”

”Aku tidak mengerti, Jeng.

”Kain ini adalah hatiku. Yang pudar, yang rapuh yang hampir tak berbentuk yang sama sekali tidak menarik karena terjajah rindu.” Dia berhenti. Kembali menarik nafasnya. Sedangkan aku yang tak menyangka dia berkata demikian, menjelaskan makna kain itu, menjadi tercekat.

”Kain akan selalu ku jaga. Seperti aku menjaga agar selalu mempunyai hati, walaupun telah lusuh, agar aku selalu memiliki rindu walau telah lusuh. Lebih baik memiliki hati yang lusuh dari pada tidak punya hati sama sekali.

berbaGi

Assalamu Alaikum

Berbagi, itulah yang pertama kali terekam di otakku ketika aku memulai tulisan ini. Menceritakan sebagian keluh kesahku berarti mengurangi bebanku dengan cara membaginya kepadamu.

Aku mulai saja....
Setelah kejadian dini hari itu, kami sudah tiga kali bertemu. Kami bertemu dengan singkat. Kami berbicara apa adanya dan sangat kaku. Sangat berbeda dengan kebiasan kami dulu.

Kami bisa duduk berjam-jam tanpa henti bicara, tertawa dan saling meledek. Kami bicara tentang segala hal, dari a sampai z, bicara sampai di empat penjuru mata angin dan berbicara tentang semua unsur di bumi. Tapi sekarang....kami hanya berbicara tentang satu hal dan dalam tempo yang sangat singkat.

Tawa kami telah menguap ke udara....

Sangat asing. Aku hampir tidak mengenal dia lagi. Sungguh dia bukan yang kulihat selama ini. Aku menemukan kamuflase di dirinya dari kepala hingga kakinya.

Sore ini, pertemuan kami yang ketiga. Aku berusaha santai. Mengurai kesal yang sempat menggayuti hatiku beberapa hari. Aku bukan berbicara dengan dia yang ku kenal dulu. Aku berbicara dengan orang yang baru. Dengan berpikir demikian aku berharap aku tidak perlu marah, kesal, kecewa atau sedih jika dalam pembicaraan kami yang singkat ada lagi kalimat yang salah. Ada pemahaman yang salah, apakah itu dari aku atau dari dia.

Alhamdulillah, usai sudah pembicaraan kami. Tidak lebih dari lima menit. Tidak ada kemajuan. Tidak ada tanda2 kami akan kembali seperti dulu. Tidak ada tanda2 kami akan menggenggam kembali tawa yang menguap itu. Dia pamit berlalu dan akupun beranjak pergi, dan semua itu tanpa tawa. Tanpa tanya apakah nanti kami ketemu lagi. Benar2 tanpa harapan.

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG