Dini hari,
maka jadilah beberapa pekerjaan yang tertunda selama ini.
Malam begitu
larut. Jarum jam baru menunjuk angka 01.34. Detak jarumnya jelas kudengar.
Ditingkahi suara binatang malam yang menyanyikan senandung sepi. Mata ini masih
sangat segar, walaupun telah mengakrabi layar laptop sejak siang tadi.
Aku sedang
chat bersama Eva, salah satu teman kerja. Mendiskusikan pekerjaan kantor lewat
aplikasi WA. Kehadiran aplikasi ini kurasa sangat membantu untuk membahas
pekerjaan yang tidak terselasaikan di kantor karena keburu jam pulang.
Diskusi
kami tadi mengingatkan aku kejadian bulan lalu. 35 hari yang lalu, tepatnya 27
November 2018, kami janjian untuk melanjutkan pekerjaan malam harinya via WA.
Tentunya setelah anak-anak Eva tidur. Pulang dari kantor, aku malah kepikiran
mau menyiram bunga di rumah Kayangan. Selepas Magrib, aku ke sana, membersihkan
taman yang sudah ditumbuhi rumput dan menyiram bunga. Memang ada beberapa hari
aku tidak berkunjungan ke rumah itu.
Lewat Isya,
aku meninggalkan rumah Kayangan. Mengingat ada beberapa barang keperluan maka
aku putuskan lewat jalan memutar untuk pulang ke rumah, ya aku lewat jalan
Kayangan yang sebenarnya lebih jauh jaraknya.
Malam itu
aku membawa motor dengan pelan. Ya perasaanku sangat pelan. Tiba-tiba saja ada
seekor anjing di depan motor, dan….aku menabraknya dan terjatuh. Kurasakan
badanku terhempas di jalanan. Selanjutnya gelap. Namun samar-samar aku
menangkap suara orang di sekelilingku. Aku merasa badanku diangkat dan
diletakkan di lantai sebuah rumah. Sementara Rahmah yang tadinya aku bonceng
sayup-sayup kudengar menangis, sehingga tidak dapat menjawab pertanyaan orang
tentang siapa kami, dari mana dan mau kemana.
Saat itu
aku merasa tidak berdaya. Entah kemana kekuatanku, jangankan untuk bersuara,
untuk membuka mata pun aku tak mampu.
Kurasakan
ada tangan yang sibuk memijit lengan kananku, sambil mengingatkan agar aku
mengingat menyebut nama Allah. Aku menangguk pertanda aku dengar kalimatnya.
Ketika orang itu menanyakan bagian yang sakit, aku hanya bisa memiringkan
kepala ke kanan masih tanpa membuka mata.
Semua badan
bagian kanan terasa sakit. Pundak, pinggang ke bawah. Bahkan aku tidak
merasakan lututku. Ada apa dengan lututku, kakiku? Aku tidak merasakan apa-apa
dibagian tersebut. Lalu kukumpulkan segenap tenagaku, kemudian aku bertanya,…
bu tolong liatkan, ada apa dengan lututku, apa masih ada? Ibu itu menjawab
bahwa lututku baik-baik saja. Masih ada. Mungkin benturan keras di aspal
membuatku tidak merasakan apa-apa disana.
Rahmah
masih saja menangis. Sementara kakak yang ditelepon belum juga mengangkat
teleponnya. Akhirnya entah inisiatif siapa, Tim PSC tiba. Petugas kesehatan
reaksi cepat ini selalu siaga setiap ada warga yang membutuhkan pertolongan.
Perlahan aku merasakan tubuhku diangkat. Samar kulihat kakak ipar diantara
orang yang mengurusku itu. Mobil PSC membawaku ke rumah sakit. Seumur-umur
inilah yang pertama kalinya aku naik ambulas dalam kondisi sakit. Aku mendengar
roda yang beradu dengan aspal. Rasanya lama sekali perjalanan ke rumah sakit,
sementara setiap goncangan di jalan menyisakan sakit yang luar biasa.
Selanjutnya
aku merasakan brankar diturunkan dari ambulans dan di dorong. Aku yang
terbaring di atasnya masih seperti tadi, tidak mampu bersuara dan membuka mata.
Lagi-lagi aku menikmati suara roda yang beradu dengan lantai ubin. Seperti lagu
yang sangat resah, sama seperti resahnya aku yang mengalami kecelakaan justru
disaat aku seharusnya fit dan menyelesaikan pekerjaan. Jelang akhir tahun
selalu sarat dengan pekerjaan.
Ah bukankan
malam ini aku janjian dengan Eva? Terbayang wajah Eva yang mungkin sudah
berkali-kali menghubungiku. Mungkin dia kesal, mungkin dia kecewa, entahlah.
Apapun yang dia rasakan, dia akan rasakan hal itu hingga dia tau bahwa aku
ingkar janji karena mengalami kecelakaan.
Kurasakan
brankar didorong memasuki sebuah ruangan. Kucoba membuka mata sejenak. Aku
ternyata sudah berada di UGD. Selanjutnya kudengar beberapa orang menanyakan
kartu tanda pengenal, KTP, BPJS dan semacamnya. Semua ada di dompetku. Semoga
mereka menemukannya.
Seorang
perawat kemudian membersihkan luka di lutut. Tak lama kemudian dokter pun
datang, menanyakan bagian yang sakit. Aku lagi memberi isyarat bahwa badan
bagian kanan sakit semua. Lalu disuruhnya aku membuka mata namun aku tidak
mampu. Aku kembali memejamkan mata. Mencari posisi yang nyaman agar rasa sakit
bisa berkurang.
Alhamdulillah
kakak pun tiba di ruang UGD. Dia kemudian mengurus segala sesuatunya, hingga ke
ruang Radiologi. Yah, lutut kanan mesti di poto, karena ternyata aku tidak
mampu menggerakkannya. Perjalanan dari UGD ke ruang Radiologi ditempuh dengan
sangat lama. Aku merasakannya sangat lama. Menikmati lagu pilu roda brankar
yang beradu dengan lantai. Apalagi yang dapat kunikmati selain itu?
Proses
pengambilan gambar pun lama. Kurasa petugasnya mengambil gambar dengan baik.
Sayangnya waktu itu aku lupa mengatakan tentang rusuk kananku yang juga sakit,
sehingga yang di poto hanyalah bagian paha ke bawah. Setelah selesai, brankar
didorong lagi kembali ke ruang UGD. Selama perjalanan itu aku merasakan betapa
saat sakit kita tidak dapat berbuat apa-apa. Entah bagaimana jadinya jika tadi
tidak ada yang menolong.
Malam itu
diputuskan untuk pulang ke rumah. Kakak melobi pihak RS, dan Alhamdulillah kami
diizinkan pulang. Karena tidak bisa bangun, aku diantar pulang masih pakai
brankar. Untung sopir ambulans berbaik hati mau mengantar kami hingga ke rumah.
Lalu brankar di dorong sampai di kamar. Kakak lalu memutuskan aku tidur di
kamar Dhyba. Lagi-lagi kusadari betapa aku tidak berdaya. Selama proses dari
ambulans hingga di tempat tidur, aku betul2 tidak mampu melakukan apa-apa. Semuanya
dibantu oleh kakak bersama petugas dari RS.
Saat sakit,
maka sebagian besar kemerdekaanmu terenggut. Kau hanya bisa berbaring dan
merasakan nyeri sembari meminta orang-orang sekitarmu melakukan hal untukmu. Termasuk
menggaruk bagian badan yang gatal. Yah, aku benar2 tidak mampu melakukan
apa-apa. Tiga hari terbaring tanpa mampu menolong diri sendiri. Selama itu pula
kakak izin dari kantornya. Benar-benar kakak menggantikan peran ibu, sosok
perempuan berhati mulia yang telah lama meninggalkan kami. Untungnya kasih
sayang ibu masih aku dapatkan lewat kakak.
Dua minggu
bukan waktu singkat. Dua minggu aku terbaring di kamar. Untungnya silih
berganti teman-teman datang menjenguk, memberi semangat. Setelah dua minggu
berlalu, aku memutuskan untuk mulai berkatifitas, beruntung seorang teman
meminjamkan tongkat/ kurknya. Hari pertama aku nekat ke kantor. Seorang teman
menjemput di rumah. Dan dengan kurk aku mulai keluar rumah. Ada beberapa hal
yang aku selesaikan. Besoknya aku lagi-lagi masuk kerja. Namun hari kedua itu
membuat aku kembali menyerah. Harus kuakui aku belum bisa apa-apa. Jika dua
hari ini aku nekat masuk kerja karena memang ada hal yang harus aku selesaikan.
Setelah dua hari itu, lalu kuputuskan untuk kembali istirahat. Untuk memulihkan
stamina kupikir aku memang harus patuh pada aturan kakak.
Ternyata waktu
yang kupikir bisa singkat untuk memulihkan stamina tidaklah secepat yang ku
kira. 35 hari telah berlalu sejak aku jatuh. Pada kenyataannya aku belum bisa
seperti dulu. Jalan masih pincang walaupun sekarang sudah lepas dari kurk. Belum
bisa berjongkok/ melipat kaki kanan dengan sempurna. Bahkan sholat pun aku
masih duduk. Satu hal lagi, aku benar2 phobia pada anjing. Jika aku melihat
anjing di pinggir jalan maka seluruh tubuhku menggigil. Rasa sakit malam aku
jatuh itu tiba-tiba saja melintasi kepalaku. Tidak. Aku tak mau lagi. Tuhan,
tolong lindungilah.