Tuesday, April 09, 2019

Di Simpang Setapak


Kalau saja Danang tak menunjukkan formulir paket wisata waktu itu, kalau saja aku tak tergiur untuk ikut, kalau saja ayah tak mengijinkan, kalau saja...
“Aga....!” Panggilan itu menghentikan suara hati Agatha. Agatha mendongak, dan seorang laki-laki ,berdiri berkacak pinggang di depannya. “Ayo bangkit! Istirahatnya cukup.”
Laki–laki itu memutar badan dan melangkah. Keresek daun kering yang diinjaknya menimbulkan irama. Agatha menelan ludah sambil berusaha berdiri. Ransel di pundaknya terasa sangat berat, walaupun isinya hanya beberapa bungkus supermi ditambah sebuah panci.
“Mau ikut atau mendekam di situ?” Agatha terlonjak kaget. Disangkanya pemilik suara itu sudah jauh di depan. Agatha menatapnya sekilas lalu berjalan tertatih diantara pohon-pohon besar yang tumbuh rapat.
Jarum jam di pergelangan tangah Agatha baru menunjukkan angka 14.00. Namun suasana mulai gelap. Pohon-pohon besar dan berdiri rapat serta berdaun lebat menghalangi sinar matahari.
“Aduh... kalau jalannya seperti siput begitu, kapan sampainya?” Laki-laki itu berhenti menunggu Agatha yang jauh tertinggal. Agatha menggigit bibir. “Sini aku bantu.” Dengan kasar laki-laki itu menarik tangan Agatha hingga langkahnya yang tertatih tadi menjadi lebih cepat.
“Kita harus sampai sebelum benar-benar gelap, “ suara laki-laki itu. Sampai? Sampai kemana? Sebenarnya tujuan kita kemana? Agatha menggelengkan kepala, tak mampu menjawab tanya hatinya, karena ia memang tak tahu kemana laki-laki tak berperasaan itu akan membawanya.
“Setelah melintasi hutan ini, kita akan belok ke utara sekitar satu kilometer untuk mencapai bukit. Nanti kita istirahat di kaki bukit. Kamu harus kuat berjalan sampai di sana. Jaraknya tidak seberapa lagi. Dari tempat kita sekarang hingga ke bukit itu cuma tujuh atau delapan kilometer.” Jelas laki-laki itu.
Persendian Agatha menjadi lemas. Tujuh atau delapan kilo? Demi Tuhan aku tak kuat lagi berjalan sejauh itu, gema hatinya, sembari menggelengkan kepala. Ingin sekali rasanya dia menangis. Namun air matanya seperti kering.
Agatha melangkah pasrah. Bukan, dia tidak melangkah, tapi Agatha pasrah membiarkan dirinya terseret oleh tangan kuat lelaki itu.
Tolonglah aku tak kuat lagi....! Agatha menggigit bibir mendengar suara hatinya yang merengek. Namun keberaniannya untuk memprotes laki-laki itu seperti surut, terkalahkan oleh rasa lelah yang luar biasa.
“Buk...” Agatha jatuh terduduk ketika laki-laki itu melepaskan pegangannya untuk menyibak ranting kering yang menghalangi jalan. Sekilas laki-laki itu menoleh ke arah Agatha.
“Ayo bangkit....!” bentaknya. Agatha menggeleng lemah. Beberapa keringat dingin membasahi wajah dan lehernya. “Jalan, Agatha....!” Sekali lagi Agatha menggeleng lemah, mewakili mulutnya yang berkata tidak.
“Atau kita akan kemalaman disini? Ayo jalan! Jangan paksa aku berbuat kasar padamu!” Dengan paksa lelaki itu menyentakkan tubuh Agatha. Dan Agatha bukannya berdiri, tapi malah jatuh tertelungkup. Hatinya mengadu sakit.
“Jadi kami benar-benar tidak kuat lagi?” Laki-laki itu melepaskan ransel dari punggung Agatha. Lalu sebuah sleeping bag digelarnya di atas daun-daun kering. “Kamu istriahat saja dulu, aku mau cari air di sekitar sini untuk keperluan memasak.” Ekor mata Agatha masih sempat melihat telapak sepatu yang melintas tepat di depan hidungnya.
Laki-laki tak berperasaan. Kenapa aku harus bertemu dengannya? Kenapa aku harus bersamanya dalam perjalanan yang tak menyenangkan ini? Hati Agatha mulai mengumpat. Seandainya saat ini aku bersama Danang, atau Rijal, yang tidak suka memaksaku atau Mas Dar, pemandu wisataku yang ramah. Ah apakah yang mereka lakukan sekarang? Mencariku? Apakah mereka sudah tahu tentang kepergiannku?
“Heh kamu masih di situ? Sleeping bag itu bukan untuk daun-daun. Tapi buat kamu melepaskan lelah.” Lelaki itu telah kembali lagi dengan panci yang berisi air. Agatha tetap terdiam. Tanpa bergeser sedikitpun, dia mengamati lelaki yang sibuk membersihkan daun-daun kering, mengumpulkan ranting kecil, kemudian memanaskan air yang dibawanya tadi.
Perut Agatha berbunyi ketika aroma supermi lewat menerpa hidungnya.
Diliriknya semangkuk supermi yang masih mengepul di sisi sleeping bag. Sedangkan satunya lagi ada di tangan lelaki itu. Dengan bersandar pada sebuah pohon, dia mulai melahap tanpa mengajak Agatha. Agatha menelan air liurnya.
Agatha bangun, dan mulai menyendok supermi itu ke mulutnya. Tiba-tiba dia merasa sangat lapar. Dalam sepuluh suapan, mangkoknya telah kosong.
“Tenagamu sudah pulih kan? Kita lanjutkan perjalanan sekarang.” Lelaki itu mengemasi ranselnya. Agatha yang bersandar pada sebuah pohon menatap laki-laki itu lurus-lurus. “Heh, jangan melihatku seperti itu!” Dia membentak Agatha sambil melempar ransel. “Tangkap, dan kita jalan lagi!”
Agatha membiarkan ransel itu jatuh di ujung kakinya. “Ayo ambil! Kita harus jalan, sebentar lagi tempat ini gelap.” “Sekarang sudah gelap.” “Heh, kamu sudah bosan membisu rupanya dan mulai keras kepala. Sudah punya tenaga untuk melawan?”
“Tidak. Aku tidak akan melawan kamu. Dibunuhpun aku pasrah.” Jawab Agatha.
Laki-laki itu terkekeh. “Karena kamu tahu perlawanannmu akan sia-sia. Bagus, aku suka jalan pikiran kamu yang ternyata masih normal. Padahal sejak dua hari yang lalu, kukira kamu sudah hilang ingatan, karena selama itu kamu tidak pernah buka mulut. Tidak mengiyakan tidak juga menolak, kamu seperti robot ikut denganku.”
Agatha geram mendengar laki-laki itu. Hatinya sangat kesal, namun dia hanya mampu memejamkan mata.
“Agatha, bangunlah! Hari semakin gelap nanti.” “Sekarang sudah gelap dan aku sudah sangat capek. Ingat dua hari dua malam kamu menyeretku ke hutan ini tanpa istirahat yang cukup. Aku buka robot seperti katamu. Aku punya rasa, merasakan capek, tidak seperti kamu yang....”
“Hei..., kamu sudah berapi rupanya.” Dibentaknya Agatha yang mulai melawan. “Kamu ingin aku berbuat kasar padamu?” Matanya menatap tak senang, nyalang. “Berbuat kasar? Bunuh saja sekalian!” Tantang Agatha.
Agatha berdiri mendekati lelaki itu, menunggu reaksi kemarahannya. Jiwa petualang Agatha baru bangkit setelah sejak dua hari yang lalu terjajah. Tanpa ragu dan takut, Agatha menatap mata itu.
“Memang aku akan mebunuhmu.” Suara itu bergetar dingin. “Baguslah. Lebih cepat lebih baik. Kalau boleh meminta, bunuh saja aku sekarang, disini!” Laki-laki itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak sekarang, tapi besok setelah matahari sejajar dengan pucuk-pucuk pohon di hutan ini. Sekarang kamu boleh menikmati malam ini dengan tenang. Malam terakhirmu!” Ditariknya gulungan sleeping bag yang terikat di ranselnya lalu melemparkannya ke samping Agatha.
Danang, Rijal, apa yang kalian lakukan? Panik mencariku? Apakah ayah sudah tahu, apakah kalian juga tahu aku disandera oleh pemandu wisata gila yang aku juga tak tak tahu apa alasannya? Di tengah hutan pula? Agatha menggeliat gelisah. Tak jauh di depannya, lelaki tak berperasaan itu telah berbaring tenang. Sebuah api kecil yang mengantarai mereka meliuk-liuk tak terarah, seperti perasaan Agatha.
“Sepertinya kamu sangat gelisah. Kenapa, memikirkan kematianmu?” Lelaki itu memutar badan menghadap ke Agatha. Agatha tertawa kecil. “Sejak tadi sore kamu mulai baik padaku. Kenapa tiba-tiba berubah. Dua hari yang lalu kamu menyeretku memasuki hutan ini dengan bentakan dan paksaan.” Agatha menghela nafas. “Pahahal aku tidak mengerti ada apa sebenarnya. Aku tidak merasa bersalah padamu. Koq tiba-tiba kamu menodongku, membekap mulutku. Lalu menyeretku sampai sejauh ini. Kamu seperti menculikku. Tapi kenapa? Motifnya apa? “ Agatha menatap laki-laki itu.
Lelaki itu bangun dan mendekati perapian. “Kamu tidak ingin mati penasaran yach?” “Setidaknya aku tahu alasan kamu membawaku sampai ke sini,” sambung Agatha. Lelaki itu batuk-batuk kecil. Sementara tangan kirinya menambah tumpukan kayu di perapian. “Apa kamu lupa, Kamis pagi yang lalu kamu buat kesalahan besar?” “Kamis pagi?” “Ya, coba kamu ingat, apa yang kamu lakukan waktu itu!”
Agatha merenung. Dengan berbantalkan tangan dia mulai mengingat kegiatannya pada Kamis pagi. Agatha bangun pagi-pagi sekali. Setelah sholat subuh, dia keluar, jalan-jalan di halaman, lalu masuk lagi mengenakan sepatu.
Saat itu di kamar sebelah Agatha mendengar suara gaduh. Agatha kesana menggedor-gedor pintu. Tak ada sahutan. Agatha pikir itu ulah kucing yang memang banyak terdapat di penginapan. Jadi Agatha kembali ke kamarnya, mengenakan sepatu lalu jogging menyusuri jalan-jalan desa yang masih sepi.
Pukul tujuh lewat sedikit, Agatha kembali. Suasana penginapan sudah ramai bahkan gempar. Penghuni kamar nomor 5, tetangga kamar Agatha ditemukan tak bernyawa lagi di lantai kamar mandi.
“Jangan-jangan kamu.....” spontan Agatha terbangun dan menatap lelaki yang duduk santi di balik perapian. “Memang aku membunuhnya, tapi tak sengaja,” tandas lelaki itu. Mulut Agatha terbuka lebar. Jadi malam ini aku benar-benar bersama dengan seorang pembunuh dan besok dia pun akan membunuhku. Batin Agatha. Agatha mengurut dada berusaha menenteramkan hatinya.
“Sekarang kamu tahu mengapa aku membawamu jauh dari penginapan.” Sahut lelaki itu lagi. “Tapi aku belum mengatakan pada siapa-siapa tentang suara gaduh pagi itu dan lagi aku tidak tahu kalau kamu ada disana, “ bela Agatha. “Memang belum. Tapi seandainya aku tidak membawamu, saat polisi datang dan bertanya pada semua tamu, tentu akhirnya akan ketahuan. Dan satu-satunya orang yang bisa menyingkap tabir itu adalah kamu. Selain aku, hanya kamu yang terbangun pada saat itu.” Tandas lelaki itu.
Agatha termangu. Ternyata bangun pagi tak selamanya baik. Besok dia akan mendapatkan hadiah yang sangat menyakitkan sebagai imbalan bangun paginya. Sayatan pisau, kibasan golok, atau tali gantung? Entahlah. Agatha mencoba menepis bayangan buruk itu.
Malam dingin berlalu dengan sepinya. Agatha hanya bersandar pada pohon besar sambil menerawang. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya saat dilihatnya lelaki itu beranjak pergi dalam kegelapan. Tak ada senandung kecil yang menemaninya setelah lelaki itu lama tak kembali.
Sebuah benda kecil yang terasa dingin mengisi saku jaketnya. Harmonika! Tangan Agatha menyentuh benda itu. Sejak dua hari lalu benda itu tak pernah disentuhnya. Padahal ada banyak lagi yang ingin dia ungkapkan lewat tiupannya. Lagu kematian...! Bibir Agatha membentuk segaris senyum. Perlahan kepalanya menggeleng. Esok semuanya akan berakhir. Agatha mendesah.
“Ayo jalan, Agatha! Jangan buang waktu lagi!” Lelaki itu mengguncang tubuh Agatha. Agatha mengucek-ngucek matanya. “Heh jalan! Jangan bengong begitu.” “Keterlaluan. Aku tidak diberi kesempatan basuh muka? Setidaknya berkumur sedikit.” Agatha mengumpat kesal.
Lelaki itu menghunjamkan matanya ke mata Agatha yang masih merah. Lalu dia menarik Agatha hingga berdiri. Dengan tergesa dia menggulung sleeping bag dan memasangkan sebuah ransel ke pundak Agatha. “Waktumu tidak lama lagi, jangan banyak bertingkah.”
Sejenak Agatha terpana. “Apa aku harus mati tanpa sempat basuh muka dan berkumur? Ah nanti mulut ku bau.” Lelaki itu tak menanggapi. Sekali sentak dia menarik Agatha mengikuti langkahnya menginjak daun-daun kering yang masih basah oleh embun.
Satu jam berjalan mereka keluar dari hutan. Hanya ada beberapa pohon besar yang menjulng tinggi di antara semak belukar yang tidak terlalu lebat. “Kupikir sebelum mati, ada baiknya kamu melihat-lihat keindahan alam di sekitar sini. Aku akan mengantarmu, menunjukkan tempat yang indah-indah, mudah-mudahan kamu dapat mengenangnya.”
Agatha menelan ludah. Ternyata niat lelaki itu untuk membunuhnya tidak berubah.
Agatha pasrah. Sejak kemarin memang Agatha sudah pasrah. Perlahan-lahan kekagumannya pada pemandu wisata itu mulai luntur. Minggu lalu saat tiba di desa Wisata Kemuning bersama Danang, Rijal dan belasan orang lainnya, Agatha tertarik dengan seorang pemandu yang begitu tenang, terkesan dingin namun tampak sangat bertanggung jawab. Namun siapa sangka orang yang telah dia kagumi justru akan mengakhiri hidupnya.
“Wow.... indahnya...!” Agatha berseru takjub. Mereka berdiri pada sebuah tempat yang cukup tinggi. Di ufuk timur semburat merah muncul. Pancarannya belum mampu menyibak kabut yang mengambang di udara. Lalu barisan pohon masih berselimut dingin. Beberapa ekor burung mulai bersiul. Agatha menghirup udara sepuas-puasnya.
“Hari masih pagi. Tunggulah sampai matahari bersinar. Tempat ini akan makin indah saat itu karena embun-embun ikut memantulkan sinar matahari. Kalau kamu sudah puas nanti, turunlah lewat di sebelah utara. Di balik pohon besar itu, ada jalan setapak ke bawah.” Lelaki itu menunjuk sebuah pohon besar. “Aku menunggumu di bawah.” Lelaki itu pergi. Hilang di balik rerimbunan daun. Agatha masih sempat menatap wajah yang tak pernah tersenyum, walaupun kadang tertawa getir.
Ah andai kita bersahabat. Andai kamu mau berubah fikiran untuk tidak membunuhku. Aku tak akan mengatakan apa-apa pada siapa pun tentang kejadian pagi itu. Sebenarnya aku kagum padamu, tepatnya tertarik. Batang hidung yang tegak, alis tebal bertaut, rahang yang kokoh, badan yang tegap tinggi dengan kuliat agak gelap. Kau gambaran petualang sejati. Telah lama aku ingin berkenalan sekaligus berteman dengan orang sepertimu.
Aku telah menemukanmu, tapi mengapa aku harus mati di tanganmu? Seketika Agatha tersentak. Suara hatinya berhenti. “Sayangnya kamu seorang pembunuh.” Agatha mendesis lirih.
Dengan langkah ringan Agatha mulai mengitari dataran hijau itu. Kakinya yang putih dibiarkan basah oleh embun. Agatha membuka mata lebar-lebar, melihat segala bentuk keindahan yang ada. Menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu melepaskannya lewat rongga hidungnya. Alam yang damai, sebentar lagi aku akan meninggalkanmu, bisik hati Agatha.
Di balik pohon yang besar, Agatha menemukan jalan setapak yang menurun curam, licin. Tanpa mengenakan sepatu yang sejak tadi dilepasnya, Agatha turun pelan-pelan. Setelah belok dua kali ke kanan, Agatha sampai pada sebuah dataran.
Dan, air..... Agatha bersuka cita. Sepuluh meter di depannya ada sebuah telaga yang berair bening. Ransel dan sepatu yang sejak tadi dibawaya dia buang begitu saja lalu menceburkan diri ke telaga. Agatha berenang, menyelam sepuasnya. Sejak meninggalkan Penginapan Kemuning, baru sekarang Agatha mandi. Dua hari yang lalu laki-laki itu tak pernah menunjukkan mata air pada Agatha. Hanya berjalan dan berjalan saja yang diperintahkannya.
“Heh... kemana dia, lelaki tak berperasaan itu,” gumam Agatha sambil memandang berkeliling, mencari sosok yang menjajahnya dua hari ini. Di tepi telaga Agatha hanya melihat ransel biru yang selama ini dibawa lelaki itu. Agatha naik, berjalan mendekati ransel itu.
Agatha memandang berkeliling sekali lagi, namun tetap tak dilihatnya lelaki itu. Dengan ujung kaki, Agatha menyentuh ransel itu, mengangkat-angkatnya sedikit. Saat itu Agatha melihat benda warna putih di bawah ransel. Amplop putih.
Agatha menunduk mengambil amplop itu. Sebuah tulisan di sudut membuat Agatha mengerti. Sebuah surat untuk Agatha. “Hmm, lelaki yang aneh,” lagi-lagi Agatha menggumam. Agatha segera merobek amplop itu lalu mulai membaca.
Untuk Agatha. Kamu sudah mandi di telaga itu? Airnya segar kan? Pasti perasaanmu sekarang lebih baik setelah dua hari tidak mandi. Perjalanan kita kemarin memang tak pernah dekat dengan mata air. Agatha, aku tidak tahu mau berkata apa padamu, ternyata tindakanku menyeretmu demikian jauh ke hutan adalah salah. Sebenarnya aku membawamu hanya untuk menutupi perbuatanku di kamar nomor lima itu. Aku ingin menghilangkan jejak. Di pagi buta itu, aku menyelinap ke kamar nomor lima untuk mencuri perhiasan dan uang milik wanita separuh baya, Nyonya Tarida.
Aku tidak punya niat membunuhnya. Aku hanya ingin mengambil perhiasan dan uangnya yang sempat kulihat di dompetnya saat Nyonya Tarida kuantar berbelanja souvenir.
Waktu aku mengendap di kamarnya, ternyata dia juga sudah bangun. Dia di kamar mandi. Di atas meja kulihat dompetnya terletak begitu saja. Menit berikutnya dompet itu telah berpindah ke tanganku.
Sebenarnya aku merasa langkahku sangat ringan dan hati-hati. Tidak menimbulkan suara. Namun wanita yang telah banyak makan asam garam kehidupan itu mendengar juga langkahku, tepat saat aku berada di depan pintu kamar mandi. Pintu kamar mandi seketika terbuka dan aku sangat kaget saat mata kami bertemu.
Kemudian dia mundur ke belakang. Saat itulah dia jatuh ke lantai. Aku sempat mendekatinya, tak ada nafasnya, nadinya juga tidak berdenyut. Sesaat aku ragu. Secepat itukah dia mati? Aku tidak sempat berpikir lagi. Suara ketukan di pintu membuatku kabur lewat jendela. Saat itu aku belum tahu siapa yang mengetuk pintu.
Di taman aku mendekam dekat bunga pangkas. Lalu kulihat kau meninggalkan penginapan, berlari-lari kecil ke jalan raya. Dari situlah aku tahu bahwa yang mengetuk pintu Nyonya Tarida tadi adalah dirimu. Suasana kembali sunyi setelah kau pergi.
Sekitar lima belas menit berikutnya, aku kembali masuk ke kamar Nyonya Tarida. Jendela yang kulewati untuk kabur tadi kukunci kembali seperti semula, hingga suasanya seperti tidak pernah ada yang masuk lewat jendela itu.
Oh yah saat aku masuk itu kukira tubuh Nyonya Tarida telah jadi mayat. Benar-benar tak ada lagi nafas yang keluar lewat hidungnya.
Di kamarku, aku sangat gelisah menanti pagi. Aku ingin tahu seperti apa reaksi tamu-tamu dan tentunya pemilik penginapansaat mendapati mayat di kamar lima. Apakah aku akan ketahuan? Siapa saksinya? Siapa yang melihatku?
Saat itu bayanganmu melintas. Hanya Agatha, yang bisa menyingkap tabir di pagi buta itu. Aku segera menyusun rencana. Lima menit sebelum mayat Nyonya Tarida ditemukan, aku menemui Mas Dar, pemandu wisata yang membawamu ke Desa Kemuning. Kusampaikan pada Mas Dar bahwa kamu ingin diantar keliling desa hingga masuk hutan. Untuk hal seperti itu memang sudah sering terjadi di desa wisata Kemuning. Untuk wisata lokalnya yang lebih mendalam, maka dipandu oleh pemandu lokal.
Aku masih ngobrol dengan Mas Dar ketika Pak Leman, pemilik penginapan Kemuning muncul bersama beberapa pelayan yang membawa nampan. Saat itu juga pelayan sudah mengantarkan susu ke kamar tamu. Nah pelayan menemukan mayat Nyonya Tarida yang telah kaku di lantai kamar mandi. Lalu suasana jadi gempar.
Saat itulah kamu tiba dari lari pagi-mu. Tak sulit bagiku membawamu karena saat itu orang-orang fokus pada mayat Nyonya Tarida.
Maafkan aku, Agatha! Aku sangat kasar padamu. Rasa takut membuatku gelap mata. Membuatku dingin tak berperasaan. Setelah berjalan dua hari, akal sehatku baru muncul. Selama berjalan itu, kamu tidak pernah bicara sedikitpun tentang kematian Nyonya Tarida. Lalu kupikir mungkin kamu tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Dan mungkin kamu tidak melihatku sedang menahan nafas di balik bunga pangkas itu. Ternyata betul, kamu tidak tahu apa-apa. Sikapku sedikit lunak padamu. Apalagi saat beraksi pagi itu, aku mengenakan topeng dan sarung tangan. Jadi bagaimana orang-orang, atau kamu bisa mengenali aku? Tak ada saksi, tak ada sidik jari. Bersih. Topeng dan sarung tangan itu telah aku bakar.
Tadi malam saat kau gelisah menanti pagi, aku berjalan ke Penginapan Kemuning. Aku menemui Pak Leman, meminta tambahan bekal untuk kita. Semua itu hanyalah alasan. Aku hanya ingin tahu perkembangan berita kematian Nyonya Tarida. Sambil menyiapkan bekal, Pak Leman bercerita bahwa sesuai pemeriksaan tim medis, Nyonya Tarida meninggal akibat serangan jantung. Hari itu juga keluarga menjemputnya dan masalahnya selesai sampai disitu.
Barang-barang Nyonya Tarida telah dibawa semua oleh keluarganya. Mereka tidak merasa kehilangan apa-apa. Berarti aku tidak perlu cemas. Tidak ada motif kecurigaan yang mengarah kepadaku.
Agatha, pagi ini kamu bebas. Tidak ada lagi laki-laki kejam yang memaksamu berjalan dan mengancam akan membunuhmu. Aku bukan pembunuh. Aku hanyalah pemandu wisata miskin yang nekat mencuri demi menyelamatkan nyawa seorang adik. Seorang adik perempuan-ku terbaring lemah di rumah sakit sejak sebulan lalu. Kanker darah telah merenggut keceriaannya. Dak aku tak pernah punya uang cukup untuk biaya pengobatannya. Untuk pertama kalinya aku mencuri demi menolong adikku. Perhiasan yang aku curi itu telah aku jual.
Agatha, aku percaya padamu untuk menyimpan rahasia ini selamanya. Tolonglah! Demi menyelematkan adikku, janganlah bicara pada siapapun!
Sekarang mungkin matahari sudah tinggi, sudah sejajar dengan pucuk-pucuk pohon. Berkemaslah! Tinggalkan hutan! Dari telaga, ikuti jalan setapak ke arah barat sejauh dua kilometer! Setelah itu membujurlah ke utara empat puluh lima derajat! Kamu akan menemukan jalan setapak lagi. Ikutilah jalan itu hingga di persimpangan, lalu pilih jalan yang lurus ke utara untuk keluar dari hutan! Satu setengah kilometer berikutnya kamu akan menemukan jalan raya. Kalau ingin kembali ke Desa Kemuning, ikutlah pada mobil yang melaju ke barat. Arah sebaliknya menuju kota.
Gantilah pakaianmu, Agatha! Di dalam ransel itu ada pakaianmu. Bila kamu sudah siap, mulailah berjalan mengikuti rute yang kutuliskan tadi. Sekian. Salam, Valerio.
“Ckckckck, menakjubkan.” Seru Agatha sambil kepalanya menggeleng tak percaya. “Hmm namanya Valerio. Petualangan ini akan kubikin cerpen, nanti, “ lagi-lagi gumam Agatha. “Benar-benar petualangan yang tak terlupakan. Paket wisata ekslusif.”
Hati Agatha kini ceria. Semua ketakutan dan kecemasannya berganti decak kagum. Kagum pada kisah petualangannya. Ah Valerio.... Agatha memutuskan kembali ke desa untuk menemui sang pemandu itu.
Setelah berjalan sekitar dua setengah jam, Agatha menemukan jalan raya yang melintasi hutan. Sambil menyeka keringatnya, Agatha melanjutkan perjalanana ke arah barat. Menyusuri jalan raya yang sunyi itu. Kelelahannya berhari-hari seakan hilang, tenggelam di dasar telaga. Yang ada hanya niat untuk menemui Valerio, menumbuhkan kembali kekaguman yang pernah luruh.
Agatha menyetop sebuah mobil pengangkut buah yang kebetulan melintas.
“Numpang, Pak!”
“Kemana Non?”
“Desa Kemuning, penginapan.”
“Kebetulan bapak juga mau ke sana mengantar buah ini. Naiklah!”
“Terimakasih, Pak. Aku disini saja.” Agatha naik di belakang. Duduk diantara tumpukan buah.
Hatinya bersenandung kecil. Membayangkan pertemuannya dengan Valerio. Sesekali bibirnya tersenyum. Dengan bersandar pada sebuah keranjang buah, ingatannya kembali ke hutan.
“Non, sudah sampai.” “Oh…!” Agatha melompat turun lalu menatap berkeliling. Beberapa orang tampak bercanda di bawah pohon jambu air. Separuh jalan tadi rupanya Agatha tertidur. “Terima kasih banyak ya, Pak.” Agatha berjalan masuk melewati beberapa tamu yang tak dikenalnya.
“Hei….kamu?” Danang menghadangnya di pintu masuk. “Apa kabar, Nang? Mana Rijal?” Agatha menghempaskan dirinya di sofa yang ada di teras, sedangkan ranselnya dibiarkan jatuh ke lantai.
“Perginya koq ga bilang-bilang?”
“Sorry, Nang, ngga sempat. Kamu ngga kelihatan pagi itu, “ bela Agatha.
“Malam sebelumnya kan bisa ngomong. Supaya aku dan Rijal ngga kelimpungan cari kamu. “
“Sorry deh! Janji, lain kali aku bilang ke kamu!”

Agatha bangkit meninggalkan Danang. Sambil menyeret dua ranselnya, Agatha membuka pintu kamar lalu melompat ke tempat tidur. Seluruh penat yang telah ia lupakan muncul kembali.
Hampir seharian Agatha tertidur. Saat bangun, senja sudah sangat tua. Dari jendela kamar dilihatnya lampu-lampu taman telah menyala.
“Baru bangun, ya?” Agatha menoleh ke sumber suara itu. “Kamu, Jal? Tolong nyalakan lampu. Oh yach, Danang bilang kalian mencariku.” “Tentu saja. Kamu pergi saat perasaan tak menentu. Nyonya Tarida tergeletak kaku di lantai kamar mandi, terus kamu hilang. Aku dan Danang jadi was-was. Takut terjadi apa-apa padamu. Rijal menarik kursi ke dekat jendela lalu mendudukinya.
“Besok kita pulang. Hampir dua minggu disini rasanya sudah cukup.” Putus Rijal “Ah kenapa secepat itu?” Protes Agatha. “Coba Jal. Kamu telusuiri hutan, pasti kamu masih ingin disini. Ngapain pulang cepat-cepat. Kota itu bising dan panas. Aku lebih suka di sini. Tenang, sejuk dan juga hijau.
“Jadi?”
“Yach aku masih ingin disini.”
“Tapi aku tak punya waktu lagi, Ga.”
“Gimana dengan Danang?”
“Entahlah. Coba kamu Tanya dia. Tapi maaf karena besok aku betul-betul harus pulang.”
Agatha menatap Rijal, kecewa. “Kamu marah padaku ya, Jal. Makanya kamu mau pulang besok?” “Oh no…! Aku tahu kamu suka suasana desa ini. Justru aku minta maaf karena tidak bisa menemani lagi. Sudah yach, aku keluar dulu. Lebih baik kamu mandi supaya merasa lebih segar!” Rijal keluar.
Pagi-pagi sekali Rijal dan Danang berangkat. Agatha berdiri di depan pagar terpaku menatap mobil yang membawa kedua temannya. Di seberang jalan, pada sebuah kedai Valerio mengawasi Agatha. Valerio tak habis pikir mengapa Agatha tak ikut pulang. Mungkinkah dia ingin membalas perlakuan Valerio tempo hari?
“Tunggu!”
Agatha urung melangkah. Dilihatnya Valerio melintasi jalan menuju ke arahnya. “Mau kemana mereka?”
“Pulang.”
“Kamu?”
“Belum. Aku masih ingin di sini. Aku masih ingin masuk hutan.”
“Ah… maafkan aku, Agatha!” Valerio tampak risih. Namun dia tetap mengikuti Agatha yang menuju ke balai-balai di samping bangunan utama.
“Bagaimana kabar adikmu?
“Seperti kemarin-kemarin, masih terbaring lemah. Belum dioeprasi, dokternya masih di luar negeri”
“Perhiasan itu?”
“Hust… jangan keras-keras menyebutnya.” Valerio tampak tegang. “Aku sudah menjualnya.”
Valerio menghela nafas. Kedengarannya sangat berat. Seakan tertindih ribuan bebatuan. Ia duduk tak jauh dari Agatha yang bersandar santai pada sebuah pilar. Sesekali ditatapnya gadis yang telah disiksanya beberapa hari.
“Agatha dendam padaku?” Suara Valerio memecah sunyi.
“Karena apa?”
“Waktu di hutan itu.”
Agatha terkekeh. “Justru aku berterima kasih. Kamu membawaku pada sebuah petualangan. Ada rasa marah, takut, terancam, tapi toch pada akhirnya aku selamat. Benar-senar sebuah petualangan yang tak mungkin kudapatkan seandainya aku tetap disini, bersama tamu-tamu lain mengikuti program paket wisata. Kamu memberikan paket wisata ekslusif.”

“Ah Agatha berlebihan. Aku justru merasa malu padamu, tapi juga merasa kagum. Sebenarnya sebelumnya aku tak pernah seakrab ini dengan tamu. Rasanya risih bercanda dengan mereka kalau tidak sedang dalam tugas. Tapi dengan Agatha, rasanya biasa, tidak risih. Mungkin karena kejadian di hutan itu, dan karena Agatha tahu rahasiaku.”
Agatha tersenyum. Perlahan dia mulai menemukan jalan untuk bersahabat dengan pemandu wisata itu. Hatinya lalu berandai-andai., berharap kembali ke hutan.
Valerio telah berubah. Pertama kali melihat Valerio, Agatha merasa cowok itu sangat dingin. Lalu di hutan, Agatha merasa cowok itu sangat kejam dan tak berperasaan. Sekarang lain lagi, Valerio adalah sosok yang bersahabat.
Sejak dua hari ini Agatha tidak melihat sosok Valerio. Menurut Pak Leman, pemandu itu mengantar tamu menyusuri sungai. Agatha menghabiskan waktu berjalan-jalan di desa. Memancing di kali di samping persawahan dan mendaki bukit-bukit kecil yang banyak terdapat di sisi jalan.
Hari masih pagi. Agatha mencari Pak Leman untuk meminjam sepeda. Seorang pelayan mengatakan Pak Leman sedang menerima tamu di kantornya. Agatha bergegas ke sana. Namun langkahnya terhenti di depan pintu. Tertegun mendengar pembicaraan dari kantor Pak Leman.
“Jadi masih ada barang Nyonya Tarida yang belum ditemukan?” Agatha lebih mendekat lagi ke pintu. “Benar, Pak. Sebelumnya atas nama keluarga, kami meminta maaf pada Bapak. Kami tidak curiga pada siapa pun yang ada disini. Hanya kami ingin mencarinya jika Bapak mengijinkan.” Sesaat suara itu hilang. Terdengar Pak Leman batuk-batuk.
“Dua hari yang lalu notaris mendatangi kami, membacakan daftar harta warisan yang akan dibagi pada kami. Kami lalu mengumpulkan barang-barang yang bisa dikumpulkan, tapi kami tidak menemukan kalung itu. Menurut adik saya, mama mengenakannya saat mau ke sini.”
Mendengar kalimat itu, Agatha menahan nafas, di balik pintu. Dia merasa sangat tegang. Valerio terancam. Agatha menjadi bingung sendiri, cemas. Namun suara di balik pintu kembali menarik perhatian Agatha.
“Kalau Bapak mengizinkan, kami akan mencarinya. Kalau bisa, hari ini.” “Ya, Anda boleh mencarinya, tapi jangan hari ini. Bagaimanapun saya harus menjaga citra penginapan ini pada tamu. Sekarang sedang banyak tamu yang baru datang. Saya tidak ingin mereka tahu peristiwa tersebut. Bisa-bisa penginapan ini nantinya tidak laku lagi.” Suara Pak Leman.
“Lalu bagaimana, Pak?” “Besok Anda kemari lagi dan mencari benda itu. Saya berharap bendanya bisa ditemukan. Apalagi sampai hari ini belum ada tamu yang menempati kamar itu setelah ibu anda.” “Baiklah, Pak. Mudah-mudahan kalung itu masih ada disana. Semasa hidupnya mama sangat pelupa. Kami harap mama meletakkannya pada salah satu tempat di dalam kamarnya, dan lupa mengenakannya lagi.”
“Ya saya juga berharap demikian. Baiklah, ini kunci kamar nomor lima, kamar ibu anda. Bawalalah, sebagai jaminan bahwa kami disini tidak masuk kamar itu sebelum anda datang.” “Tidak usah, Pak. Saya percaya Bapak. Terima kasih, saya permisi dulu.”
Pintu kamar terbuka dan terlambat bagi Agatha untuk sembunyi. Pak Leman telah melihatnya. Sesaat Agatha tercekat, kaget.
“Oh Nona Agatha, ada apa?” Agatha tersenyum menutupi rasa kagetnya. “Mau pinjam sepeda, Pak. Tapi aku dengar bapak lagi terima tamu.”
Pak Leman tertawa ringan. “Kenalkan ini Tuan Sutrisno, putra Nyonya Tarida yang meninggal beberapa hari yang lalu. Agatha berjabat tangan dengan tamu Pak Leman. “Kalau mau memakai sepeda, minta saja sama Pak Karya di belakang, ya Non.” “Baiklah. Agatha ke belakang dulu, ya Pak.”
Agatha mengayuh sepeda menyusuri jalan. Sementara itu hatinya sibuk. Valerio kemana kamu? Dimana aku bisa menemukanmu? Kamu harus mengembalikan kalung itu. Atau namamu akan tercemar dan kamu terkurung di penjara?.
Ah tidak. Hal itu tidak boleh terjadi. Pasti ada jalan untuk menyelamatkan dirimu. Tapi bagaimana? Kalung itu telah terjual, lalu kamu menjualnya dimana? Pada siapa?
Valerio bersandar lemas pada pohon mangga yang ada di halaman samping penginapan. Beberapa tamu yang telah dipandunya selama dua hari telah masuk kamar. Jam tangannya menunjuk angka pukul tiga belas lewat lima puluh lima menit. Suasana penginapan sunyi. Tamu-tamu sedang istirahat.
Seorang pelayan mengantarkan minuman pesanan Valerio. Seperti biasa, Valerio hanya memberinya sedikit senyuman, tanpa tegur sapa. Sebuah jendela kamar terbuka. Valerio menoleh dan mendapati wajah Agatha di jendela itu. Secepatnya tangannya melambai. Saat yang sama, Agatha pun bergerak cepat, menyambar tas yang baru saja diletakkannya di meja lalu berlari ke luar, ke tempat Valerio.
“Dari mana? Pandangan Valerio menyelidik Agatha yang berkeringat dengan nafas memburu. Seperti baru saja berlari dengan jarak yang jauh. Tanpa menjawab, Agatha meneguk minuman yang diantar pelayan tadi.
“Kamu dari mana saja?” Gantian Agatha yang bertanya. “Memandu di sungai.” Valerio bergeser memberi tempat duduk pada Agatha. “Baru saja aku mau mencarimu, untungnya kamu sudah datang.” “Iya, tapi aku belum bisa membawamu ke hutan lagi.” Timpal Valerio.
Agatha menatap wajah Valerio yang nampak letih. “Bukan untuk itu, tapi….” Agatha berhenti bicara. Diperhatikannya tempat itu sekeliling. Lalu dengan suara pelan ia meyambung kalimatnya. “Anak Nyonya Tarida datang mencari kalung itu.”
Valerio menghela nafas berat. Lalu menghembuskannya kuat-kuat. Seakan ingin menyertakan keresahannya disitu yang telah menggayuti hatinya setelah Pak Leman mengatakan hal yang sama, tadi.
“Kamu sudah tau juga?” Lirih suara Valerio.
“Aku bertemu dengannya tadi pagi. Besok dia mau datang lagi dan mulai mencari.” Jelas Agatha.
“Aku sudah tahu semua, Pak Leman telah menceritakannya tadi.”
“Jadi apa rencanamu?
“Entahlah. Sepertinya tidak ada. Uang itu telah kuserahkan pada pihak rumah sakit. Sekarang aku tidak punya apa-apa.” Suara Valerio putus asa.

“Ini…!” Agatha meletakkan tas di pangkuan Valerio. “Sekarang pergilah! Beli kembali kalung itu!” Valerio menatap Agatha dan tas itu bergantian. Bingung.
“Itu uangku, baru saja kuambil di bank.” Jelas Agatha.
“Jadi tadi kamu ke kota? Kamu….”
“Iya. Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan itu. Pergilah secepatnya! Ingat, kita pun harus memikirkan cara memasukkan kalung itu ke dalam kamar.”

“Kita?”Valerio menatap Agatha. “Iya, kita. Kamu dan aku. Ah sudahlah. Pergilah sekarang sebelum ada yang melihat kita di sini! Ingat waktu tidak banyak.
Valerio terpana menatap Agatha. Namun Agatha menariknya berdiri, lalu mendorongnya, memaksanya melangkah pergi. “Aku berhutang padamu, Agatha. Sekali lagi Valerio menoleh. “Jangan pikirkan itu. Pikirkan saja cara yang cepat untuk mengembalikkan kalung itu ke kamar Nyonya Tarida.
Hujan rintik-rintik sedari sore berubah deras. Kilat dan guntur susul menyusul disertai tiupan angin yang kencang. Setelah makan malam tamu-tamu memilih masuk kamar. Penginapan sangat sunyi. Tidak ada suara nyanyian atau canda sebagaimana biasanya. Hanya lampu-lampu yang menyala yang menandakan adanya kehidupan di penginapan itu.
Agatha meringkuk gelisah. Malam sudah mulai larut. Jam kecil di atas meja menunjuk angka sepuluh dan dua belas namun Valerio belum juga muncul. Bermacam dugaan memenuhi kepala Agatha. Mungkinkah Valerio tidak menemukan kalung itu. Kalungnya telah terjual lagi. Atau Valerio kecelakaan. Jatuh, tertabrak mobil, atau disambar petir? Agatha bergidik ngeri.
Dia bersandar rapat ke dinding sambil memeluk lutut, mencoba menenangkan hatinya. Tiba-tiba telinga Agatha tegak berdiri, seperti mendengar sesuatu. Agatha mendekat ke jendela, dia mendengar ketukan halus dan suara lirih yang memanggil namanya. Bulu tengkuknya berdiri. Entah mengapa Agatha merasa takut.
Agatha mendekat lagi dan memasang telinga baik-baik. Valerio? Secepatnya Agatha membuka jendela. Di luar Valeri berdiri kedinginan. Badannya basah kehujanan. “Kenapa lama sekali?” Tanya Agatha cemas. Tangan kanannya membantu Valerio masuk. “Kendaraan yang kutumpangi mogok. Aku berjalan sekitar dua kilo setelah lelah menunggu kendaraan lain yang bisa ditumpangi. Lagi pula aku harus ke rumah lagi, mengambil dompet Nyonya Tarida.
“Kamu punya handuk?” Agatha mengambil handuknya yang tergantung di belakang pintu kamar mandi. “Kamu dapatkan kalungnya? “Iya, uangmu habis terpakai semua.” Jelas Valerio sambil menggosok badannya dengan handuk. Sesekali giginya terdengar gemerutuk kedinginan.
“Sekarang bagaimana?” “Aku akan membuka jendela kamar sebelah. Setelah terbuka nanti, kamu masuk kesana dan meletakkan dompet ini di dalam kamar. Dimana saja. Kalungnya sudah ada di dalam dompet.” Valerio menunjukkan dompet Nyonya Tarida.
“Kenapa bukan kamu saja?” “Sepatuku kotor. Pasti meninggalkan bekas di lantai seperti ini.” Valerio menggeser kakinya dan tampak bekas sepatunya di lantai.
Valerio membuka jendela dengan menggunakan pisau. Tak lama kemudian, kepalanya menyembul di jendela. “Agatha, jendelanya sudah terbuka.”
Sekilas Agatha melihat jam. Pukul dua puluh dua lewat tiga puluh tujuh menit. Agatha bangkit. Dompet Nyonya Tarida telah di genggamnya. Jantung Agatha berdebar-debar. Ia keluar lewat jendela, lalu merapat ke dinding untuk menghindari air hujan.
“Naiklah ke pundakku, untuk mencapai jendela.” Agatha menatap Valerio, tak mengerti. Valerio kemudian jongkok. Letakkan kakimu disini, di pundakku. Oh yach letak benda-benda di dalam sama dengan di kamar kamu. Kamu tidak akan kesulitan melangkah.”
“Di dalam gelap?” suara Agatha bergetar. “Sebaiknya begitu. Ini sebuah senter kecil, bawalah! Tapi kalau bisa, jangan dipakai.”
Agatha menguatkan hati. Dengan bantuan Valerio, akhirnya dia masuk. Agatha melangkah sambil meraba-raba. Sesaat dia bingung tak tahu dimana meletakkan dompet yang dipegangnya. Lalu dia meletakkan dompet itu di bawah kasur, lalu secepatnya kembali mendekati jendela.
“Selesai?” “Iya, cepat keluarkan aku dari sini!” suara Agatha gemetar. Valerio membantunya keluar, lalu menutup rapat jendela itu, seperti tidak pernah terbuka. Kemudian membantu lagi Agatha untuk masuk ke kamarnya.
“Kamu ketakutan?” Valerio mendudukan Agatha. “Tidak apa-apa. Tadi Cuma ingat Nyonya Tarida terkapar disana.” “Lalu, dompetnya disimpan di mana?” “Di bawah kasur.” “Baguslah. Oh yah, Agatha, aku harus pergi” Valerio bangkit. “Hujan deras begini?” “Tidak apa-apa. Aku tidak boleh berlama-lama di sini. Di kamar mu pula. Maafkan aku yach! Dan terima kasih kamu telah membantuku. Aku pergi dulu.” Valerio keluar lewat jendela. “Hati-hati,” bisik Agatha. Valerio mengendap-endap dan akhirnya hilang dalam gelap yang dingin.
Sebuah mobil pajero sport meninggalkan halaman Penginapan Kemuning. Agatha yang duduk di kursi depan bersenandung kecil. Sesekali ditiupnya harmonica kesayangannya dengan nada riang.
“Stop dulu, Yah! Mobil itu berhenti. “Ada apa lagi? Liburan sudah nombok seminggu apa belum cukup?” “Ah Ayah, aku cuma mau pamit sama cowok yang disana.” Agatha menunjuk seseorang yang berdiri di pinggir kali. “Pacar yach?” Ayah menggoda Agatha. “Bukan… dia Valerio.” Agatha berlari ke pinggir kali.
“Hai…!” Sapa Agatha. “Agatha, ada apa?” Valerio kaget. “Pamit. Ayah menjemputku.” Agatha jongkok, mengamati tali pancing yang menjuntai ke kali. “Valerio, kalau aku kesini lagi, mau kan membawaku lagi masuk hutan?” “Cuma masuk hutan? Tidak meminta yang lain?” “Apa?” Agatha balik bertanya. “Tidak minta di bayar? Uangmu, Agatha, yang dipakai membeli kalung itu lagi.” “Ah sudahlah. Lupakanlah! Aku harus pergi, tuch Ayah sudah tidak sabar.” Agatha berdiri melangkah.
“Agatha, tunggu!” Valerio melepas sebuah kalung yang melingkari lehernya. “Untukmu,” diulurkannya kalung itu. “Agar Agatha selalu ingat semua yang terjadi, karena sebuah kalung. Pakailah!”
Agatha menerima kalung itu. Lalu mengenakannya di lehernya. “Terima kasih yach, aku pergi dulu. Jaga diri” Agatha berlari kembali ke mobilnya. Perlahan mobil itu bergerak menjauh. Semakin lama semakin jauh dan akhirnya tidak kelihatan sama sekali. Sunyi sepeninggal Agatha. Sangat sunyi. Bahkan seorang Valerio pun merasakan sunyi yang sangat sunyi. Seperti ada sesuatu yang pergi dari dirinya.

#fiksi

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG