Monday, July 22, 2019

Berpacu Waktu menuju Sentul


Dalam setiap perjalananmu kamu akan dipertemukan orang baik. Yang menjadi dewa penolong saat kamu dalam situasi yang kepepet.

Jakarta, 14 Juli 2019.
Matahari kian condong ke barat. Aku baru saja tiba dari Pasar Tanah Abang ketika kakak mengajak ku ke Bogor. Segera aku berbenah, mandi dan berganti pakaian. Waktu sangat mepet, Magrib hampir menjelang.

Kami, ber-8 (delapan), lalu bergegas ke Stasiun Tanah Abang. Berbaur dengan antrian panjang yang layaknya ular hendak membeli tiket. Berikutnya kami mendapatkan kartu, lalu bergegas masuk stasiun dan menunggu kereta tujuan Bogor.

Tidak berapa lama, kereta tiba. Kami ikut berjejal menaiki kereta tersebut. Kondisi kereta lumayan penuh, mengingat hari sudah sore. Sepanjang perjalanan aku tidak mendapat tempat duduk. Tidak masalah berdiri dari Jakarta hingga Bogor, asal kami bisa tiba di Bogor, itu sudah lebih dari cukup.
Dalam perjalanan kami pun tak lepas dari rasa was-was melihat jarum jam yang bergerak detik demi detik. Hari ini kami mendapat kesempatan untuk mengunjungi Dhyba hingga pukul 21.00 malam. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 19.30.
Tiba di Bogor nanti, kami pun harus naik Grab lagi untuk menuju lokasi Dhyba, yang saat itu menginap di Sentul, tepatnya di Mess PMPP TNI ( Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian Tentara Nasional Indonesia).

Untuk mengisi waktu, aku lalu mengobrol dengan kakak dengan menggunakan bahasa daerah (Bugis). Setelah obrolan kami selesai, seorang ibu yang duduk di samping kakak lalu menyapa kakak. Dia mengenalkan dirinya sebagai suku Bugis. Kami berasal dari daerah yang sama, Makassar. Ibu itu lalu menyarankan kami turun di Stasiun Bojong Gede, karena Sentul lebih dekat dari Bojong Gede di banding dari Kota Bogor.

Akhirnya kami sepakat turun di stasiun Bojong Gede. Setengah berlari kami keluar dari stasiun. Mencari posisi yang baik untuk kemudian mengorder Grab. Untuk ini bukan perkara mudah. Bojong Gede penuh sesak. Manusia dan kendaraan bersileweran. Kami lalu berjalan sekitar 100 meter dari stasiun.

Karena ber-8 (delapan), kami lalu mengorder 2 grab. Aku dan kakak berpisah. Dia gabung bersama suaminya dan kerabat kami dari Samarinda. Sedangkan aku gabung dengan keluarga dari Makassar.
Dalam suasana yang hiruk pikuk dan serba buru-buru itu, aku kemudian berhasil mendapatkan Grab. Oleh driver, aku diarahkan untuk berjalan beberapa meter lagi karena tidak dibenarkan Grab mengambil konsumen di area stasiun mengingat di sekitar situ ada banyak gojek yang beroperasi.
Aku berjalan melintasi rel kereta. Dan menunggu Grab di depan warung mie ayam seperti yang diarahkan oleh driver. Tidak berapa lama grabnya tiba. Kami berangkat. Sementara rombongan kakak belum berhasil menemukan grab. 

Sentul yang kami tuju ternyata masih jauh. Butuh waktu sekitar 45 menit untuk tiba disana. Itu dengan catatan kondisi jalan sedang tidak macet. Waktu menunjukkan pukul 20.00. Aku jadi cemas. Apalagi kondisi jalan cukup ramai dan beberapa kali perjalanan kami melambat karena macet.
HP ku berdering. Kakak menelepon, mengabarkan bahwa rombongannya belum mendapatkan grab sampai saat ini. 

Beberapa saat kemudian HP ku kembali bordering. Dhyba menelepon menanyakan posisi ku serta menyampaikan batas waktunya untuk bisa bertemu keluarga yang sisa beberapa menit.
Adalah Indra, yang mengantar kami malam itu, setelah mendengar percakapan aku dengan Dhyba, dia lalu berinisiatif mengambil jalan kompas menuju Sentul. Kami sedang mengejar waktu. Hampir setiap saat aku bertanya berapa menit lagi. Begitu juga Dhyba hampir tiap menit menanyakan posisi kami.

Aku lalu menyabarkan Dhyba, meyakinkan bahwa aku bisa tiba sebelum jam berkunjung habis. Sambil sekali-sekali aku bertanya pada Indra berapa jauh lagi.
Akhirnya kami tiba di lokasi yang di share Dhyba. Mess PMPP tersebut berada di ketinggian. Melewati jalanan berkelok dan mendaki.

Aku berlari menuju lokasi pertemuan, di mana Dhyba telah menunggu sejak pukul 16.00. Mengingat itu aku jadi sedih memikirkan ponakanku yang tentunya sangat mengharapkan kehadiran kami. Alhamdulillah akhinrya kami bertemu. Kami berpelukan. Senyum sumringah di bibirnya cukup menenangkan hatiku.

Kami lalu mengambil tempat di deratan meja dan kursi yang telah disiapkan untuk pertemuan dengan keluarga. Tidak banyak obrolan kami malam itu, mengingat waktu berkunjung hampir habis. Aku hanya mensupport dia, memintanya menjaga kesehatan untuk persiapan acara pelantikan PAJA (Perwira Remaja) Akpol 2019 di Istana Negara. Sekaligus menyampaikan salam dari ibunya yang tidak bisa menjangkau Sentul karena macet. Kami masih mengobrol ketika Dhyba dan kawan-kawan mendapat panggilan untuk apel. Waktu berkunjung selesai. Aku bersyukur ada waktu sekitar 10 menit duduk bersama Dhyba, sekedar mendengar kisahnya hari itu dan melihat senyumnya yang bersemangat. Kami lalu mengambil beberapa poto lalu berpisah.

Kembali ke Indra. Dalam perjalanan berangkat tadi, kami sudah meminta dia menunggu. Mengingat kondisi jaringan di Sentul yang kurang bagus (susah untuk order grab) dan tentunya susah mendapatkan kendaraan umum lagi karena lokasi tersebut cukup jauh. Kami merasa beruntung, Indra bersedia menunggu kami. Maka perjalanan kami PP Bojong Gede-Sentul-Bojong Gede diantar Indra.
Dalam perjalanan pulang itu yang kondisi jalannya penurunan, Indra baru menyadari bahan bakar mobilnya tidak seberapa. Karena kepanikanku waktu berangkat dan karena mengejar waktu membuat dia lupa kondisi bahan bakarnya. Waktu berangkat, aku yang was-was, dan waktu pulang gantian Indra yang was-was.  Dan betapa bersyukurnya kami ketika mendapati Pom Bensin di sisi kanan jalan.

Perjalanan kemudian dilanjutkan. Selanjutnya kami mengejar kereta terakhir menuju Jakarta. Kami lalu meminta lagi ke Indra, seandainya kami ketinggalan kereta, kami meminta dia mengantar kami pulang. Dia pun setuju, sehingga kami merasa agak lega.
Aku bersandar di jok kursi belakang. Mencoba menikmati sisa perjalanan, mengingat dari berangkat hingga pulang dari Sentul merasa tegang terus. Indra membawa kendaraan dengan kecepatan sedang. Jalanan masih ramai, sehingga lagi-lagi beberapa kali perjalanan kami melambat. Tapi kali ini aku tidak lagi was-was. Toh kalaupun ketinggalan kereta, aku masih bisa tiba di Jakarta malam mini.
Kami lalu berpisah dengan Indra di depan stasiun. Dia menunggu beberapa menit untuk memastikan kami masih mendapat kereta terakhir. 

Terima kasih, Indra.
Entah bagaimana jika tidak bertemu dengan dia malam itu. Bisa jadi kami tetap mendapatkan grab, tapi belum tentu mau mengambil jalan pintas yang gelap dan sepi demi mengejar waktu. Bisa jadi kami mendapatkan grab malam itu, tapi belum tentu bisa mengerti kondisi kami.
Terima kasih, Indra yang hingga kereta terakhir berjalan masih memantau kami di mana dan tiba di Jakarta jam berapa. Semoga dapat bertemu kembali dalam suasana yang lebih santai, bukan lagi berkejaran dengan waktu. Semoga segala urusan Indra dilancarkan dan rezekinya dimurahkan. Aamiin.

Aku percaya, bahwa pada setiap perjalanan, Tuhan telah menyiapkan jalan keluar untuk semua situasi yang tidak bersahabat. Hanya untuk itu terkadang kita perlu berusaha lebih keras, salah satu contohnya, aku mesti berjalan melintasi kereta api malam itu.
#tripjuli2019

Friday, July 12, 2019

Keluarga Soga



Setiap kali aku datang ke Soga, (salah satu desa di Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng) aku selalu merasakan perasaan yang sama. Sejuk dan damai.

(Dulu) Karena tuntutan pekerjaan, akhirnya aku lebih sering berinteraksi dengan mereka selama tiga tahun. Dalam seminggu aku berkali-kali datang, berdiskusi dan belajar tentang banyak hal dengan mereka. Tentang bencana, lingkungan, perkebunan, wisata, kerajinan. Tentang anak-anak, pemuda, ibu serta bapaknya. Aku menjadi akrab dengan mereka.

Aku lalu mengenal beberapa sudut Desa Soga. Aku menemukan banyak keindahan disana. Alamnya indah, udaranya sejuk, penduduknya ramah. Aku benar-benar terpseona. Pantaslah seorang noni Belanda pernah bertahan tinggal beberapa bulan dan bahkan kembali lagi membawa keluarganya. Ya karena pesona Soga. Akhirnya aku tidak keberatan dengan ungkapan noni Belanda tersebut yang menyatakan bahwa Soga adalah sorga dunia yang tidak banyak diketahui orang.

Hari ini sebenarnya aku sangat sibuk. Pekerjaan di kantor tidak ada habisnya. Terhitung sejak usai libur lebaran Fitri kemarin, hampir tidak ada waktu luang. Ada beberapa kegiatan yang sedang jalan saat ini, serta ada beberapa kegiatan yang sementara kami rancang untuk kami laksanakan di waktu mendatang.

Biasanya, dengan kesibukan seperti ini, aku enggan meninggalkan kantor. Berkutat di ruanganku rasanya lebih tenang ketimbang pergi. Tapi hal itu tidak berlaku untuk hari ini. Malah sejak pagi aku mengawasi jam dinding. Aku telah merencanakan usai sholat Lohor aku akan izin meninggalkan kantor demi menghadiri acara Appy di Desa Soga.

Rahmat Afrianto yang lebih sering kusapa Appy, pemuda Soga yang kemudian menjadi salah satu keluargaku. Hari ini melangsungkan acara pernikahan dengan gadis pujaannya. Seminggu sebelumnya dia telah berkabar tentang hari bahagia ini. Dan ya, dia berharap aku hadir.
Lepas sholat Lohor, dengan suka cita aku mengendarai motorku. Menyusuri jalan-jalan yang telah sangat akrab denganku. Pepohonan nan hijau, udara yang sejuk, dan tentu saja jembatan gantung yang menghubungkan Desa Soga dengan Desa Mariorilau harus aku lewati. Aku bersenandung sepanjang jalan. Membayangkan pertemuan dengan keluarga Soga.

Mungkin perasaanku berlebihan ketika aku merasa bahwa mereka di sana adalah keluarga-ku. Tapi aku tidak dapat memungkiri perasaan itu. Meski kini aku tidak lagi bertugas di Soga, aku masih sering datang. Aku sangat bersyukur mereka disana masih mengingatku. Mengabari aku jika ada hajatan.
Akhirnya aku berani mengatakan bahwa Soga adalah rumahku. Tempat dimana aku tidak akan kelaparan dan tidak akan kedinginan.

Terima kasih untuk Bapak, Ibu, Kakak, Adik yang selalu menerimaku dengan baik. Terima kasih untuk Keluarga Bapak H. Budirman Azis, Bapak Hamzah, Bapak Nursam
Special thanks to  https://web.facebook.com/wawan.soga (wawan) yang mengajakku ke Soga kala itu. Siapa sangka kemudian aku mendapat tugas di Soga dan kemudian mendapatkan banyak keluarga di sana.


Friday, July 05, 2019

Rembulan Pucat



Malam baru saja turun ketika Ve memintaku menemuinya di kamarnya. Dia meminta aku membantu merapikan kamarnya yang sebenarnya selalu rapi. Tapi tepatnya malam ini dia memintaku membantunya merapikan barang-barangnya. Ve akan pergi.

“Bukankah lebih baik di sini?” Kucoba memecah sunyi yang melingkupi kami.
“Disini kamu mendapatkan semuanya, teman, sahabat, keluarga, pekerjaan. Untuk apa lagi kamu pergi?” Lanjutku.

”Disini juga aku mendapatkan pengkhianatan, Sya.” Suara Ve lirih. Lalu terbayang kejadian sebulan lalu saat kami mendapati Aryo memeluk mesra Fani, di pantai.

*******

Sore itu, kami habis berbelanja di mini market. Lalu kami sepakat untuk mengantar matahari ke peraduannya sebelum kami pulang ke kost. Ve kemudian menghubungi Aryo untuk gabung bersama kami yang dijawab Aryo tidak sempat gabung karena lagi meeting.

Kami lalu memutuskan menikmati sore itu berdua. Setelah membeli camilan pada pedagang asongan kami berjalan ke bibir pantai dimana ada banyak orang duduk menghadap ke laut. Kami melewati beberapa pasangan yang tak mau melewatkan moment tenggelamnya matahari di laut lepas. Siapa sangka salah satu pasangan itu adalah Aryo. Yang membuat kaget, Aryo memeluk Fani yang tak lain adalah sahabat kami juga. Teman satu kost, teman jalan, teman curhat, teman kongkow-kongkow.

Masih jelas di mataku, betapa hebat kejut di mata Aryo ketika aku dan Ve berdiri mematung di depannya, dengan tatapan seribu tanya. Terlebih Fani, yang sebelumnya bergayut manja di lengan Aryo. Seketika mereka saling melepas dan berdiri kaku di depan kami.

”Ve?, Meisya?” Suara Aryo tercekat.
Aku masih berdiri mematung ketika Ve berlari menjauh.
”Aryo, Fani, kalian...?” suaraku tertahan, ragu. Lalu aku berbalik arah mengejar Ve.
”Ve, tunggu! ”Meisya, tunggu!” kejar Aryo.
Nafasku tersengal-sengal mengejar Ve yang larinya sangat kencang. Lalu kutangkap tubuh sahabatku itu, memeluknya erat.

”Ve, tenang! Kita belum dengar apa penjelasan Aryo. Jangan langsung kabur begini.” Kubelai punggung Ve. Badannya terguncang. Aku tahu dia sedang menahan amarah dan sedih.

Tepat saat itu, Aryo berhasil menyusul kami. Sementara di kejauhan aku lihat Fani masih berdiri bengong.

”Ve, dengarkan dulu!” Aryo meraih tangan Ve yang langsung dikibaskan oleh Ve.
”Jadi meeting kamu itu dengan Fani, yah. Sejak kapan sih kalian sama-sama. Kenapa tidak jujur aja dari awal?” Berondong Ve.

”Aku dan Fani, kami tidak ada apa-apa. Kami teman saja, layaknya aku dengan Meisya. Selama ini ...”
”Oh yah, sejak kapan teman boleh saling peluk, trus sama pacar sendiri mengaku meeting,” potong Ve.
”Aryo, kamu itu buaya, tau nggak. Aku tidak menyangka kamu seperti itu. Yang bikin sakit itu Aryo jalan sama sahabat Ve sendiri. Kalian keterlaluan.” Tangis Ve pecah.

”Ve, maafkan aku. Aku...! Aryo menjatuhkan dirinya ke pasir.
”Sudahlah, Ar, cukup!” Tegas suara Ve.
”Ini yang ketiga kali aku mendapati kamu bersama Fani. Tapi selama ini aku mencoba percaya bahwa kalian hanya berteman,” lanjutnya, kali ini dengan suara lebih pelan. Sepertinya Ve telah mampu menguasai diri.

”Sya, kita pulang!” Ve menggamit lenganku lalu melangkah. Aku berjalan mengikutinya sambil sesekali berbalik melihat Aryo yang masih bersimpuh di pasir.

*****

”Kamu mau menghindari Aryo, yah? Kalau cuma itu, kamu tidak perlu pergi, Ve. Putuskan saja dan jangan mau komunikasi lagi!”

Ve menggeleng. Air matanya meleleh di pipinya yang kelihatan semakin tirus.
”Sya, kamu masih ingat ini?” Ve menyodorkan selembar undangan pernikahan.
”Contoh desain undangan kalian,” jawabku.
”Dan yang ini?” Ve menunjukkan jari manisnya yang dilingkari cincin pemberian Aryo beberapa waktu lalu.

Ve lalu melepas cincin itu.
”Semua berakhir, Sya. Cincin ini harus aku kembalikan. Dan desain undangan ini, lupakan saja.” Air mata Ve makin deras. Aku sodorkan kotak tisyu ke arahnya.

”Hmmm, apa kamu tidak bisa memaafkan Aryo? Namanya manusia biasa, siapapun bisa khilaf. Ingat, Ve, kalian sudah lama mempersiapkan hari pernikahan kalian.” ucapku sambil menggenggam tangan Ve, mencoba meyakinkannya.

Ve melepas tangannya. Dia lalu berjalan mengambil sesuatu di tasnya.
”Awalnya aku memaafkan Aryo, Sya. Kamu kan tahu aku sayang Aryo. Tapi sekarang tidak lagi. Lihat ini!” Ve menyodorkan sebuah amplop padaku.

”Ini apa?” ku goyang-goyangkan amplop itu.
”Bukalah dulu!” pinta Ve sambil tak henti mengusap air matanya.

Perlahan aku membuka amplop itu dan makin tak mengerti. Tapi isinya cukup untuk membuat mataku terbelalak. Alat tes kehamilan dengan dua garis merah.

”Ve, kamu?” seketika aku gemetar. Tanganku perlahan terasa dingin.
”Mana mungkin Ve. Ini punya kamu? Sejak kapan?”

Air mata Ve kian deras. Dia mendekap dadanya sendiri pertanda jiwanya terguncang hebat. Aku membiarkannya menikmati tangisnya yang makin menjadi-jadi di depanku. Untungnya kost sedang sunyi.

”Tadi pagi Fani memberikan itu padaku. Katanya itu hasil perbuatannya dengan Aryo. Lalu Aryo membenarkannya.” Ve kian terisak.

Kuraih tubuh sahabatku itu. Kubenamkan dia dalam pelukanku. Akupun mulai menangis.

”Aku telah memilih, Sya!” suara Ve setelah kami sama-sama tergugu.
”Aku harus pergi. Aku tidak yakin mampu melihat mereka setiap hari. Di sini sakit!” Ve menekan dadanya.

”Tapi kamu masih bisa merubah pilihanmu. Tidak ada yang memaksa kamu mengambil pilihan itu kan?” kejarku dengan harapan Ve bisa berubah pikiran.

Ve berjalan ke jendela yang dibiarkannya terbuka sejak tadi. Ada bulan pucat di sana yang mengawasi kami.
Dalam remang, samar kulihat dia menggelengkan kepala.

Aku menghela nafas panjang, sembari menatap bulan pucat itu seksama.  Mungkin ada untaian kalimat di sisi bulan yang bisa kubaca, kemudian kusampaikan pada Ve hingga dia mau memikirkan lagi rencananya.

Semakin sunyi. Ve telah beranjak ke kasur, merebahkan diri. Katanya hendak mencoba tidur agar besok bisa bangun pagi-pagi.

Aku terpaku di sofa. Memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi besok. Ve pergi. Ve sedih. Aku sedih. Ah, kalau Ve pergi, pasti akan terasa sunyi. Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Tidak, Ve tidak boleh pergi.

*******

Kamar itu kosong. Entah jam berapa Ve pergi. Dia tidak pamit lagi padaku. Kurasakan dadaku hampa. Tangis yang semalam sudah merembesi mataku kini mulai lagi. Kutarik nafas sekuatnya, kemudian ku hembuskan bersama teriakan yang cukup untuk membangunkan penghuni kost-kostan itu.
“Veeeeeeeeee....................” jeritku. Kemudian aku terjatuh di ambang kamarnya. Pandanganku kabur. 

Sumber Poto : https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Ffahryalamsyah.files.wordpress.com%2F2016%2F05%2Fsungai-bulan.jpg%3Fw%3D800%26h%3D312%26crop%3D1&imgrefurl=https%3A%2F%2Ffahryalamsyah.wordpress.com%2F2016%2F05%2F12%2Fkesaksian-dibawah-rembulan-redup%2F&docid=-utjP_R38jaelM&tbnid=ScW5wHZhxjNBVM%3A&vet=10ahUKEwjHgYDnhJ7jAhUb73MBHfjYDAQQMwh6KCwwLA..i&w=800&h=312&safe=strict&bih=607&biw=1280&q=rembulan%20pucat&ved=0ahUKEwjHgYDnhJ7jAhUb73MBHfjYDAQQMwh6KCwwLA&iact=mrc&uact=8

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG