Wednesday, September 18, 2019

SARANGHEYO



(Demi memenuhi janji pada pohon bambu, sungai, finger love dan teman-teman semua)


Matahari mengintip dari celah jendela kamarku. Semburatnya yang jingga keemasan selalu menarik, membuatku bangkit dari empuknya kasur.  Aku mendekati jendela, menyibak tirai, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Udara pagi yang sejuk menerpa pipiku. Aku menghirup udara dalam-dalam lalu melepaskannya pelan, sembari memejamkan mataku. Inilah salah satu caraku menikmati pagi. Hmmm betapa nikmatnya. 

Masih sambil memejamkan mata, satu wajah tiba-tiba terbayang, melintas begitu saja di ruang kepalaku yang sebenarnya pagi ini masih kosong. Belum ada pikiran apa-apa. Kenapa pula satu wajah itu terbayang sepagi ini?

Bibirku seketika melengkung. Membentuk garis senyum yang kata beberapa orang teman sih, manis. Oh yah, senyumku manis. Katanya sih. Kalau aku sendiri merasa biasa saja. Sama dengan kebanyakan teman-teman. Cuma ya, siapapun akan kelihatan lebih manis ketika tersenyum.
Hey, manis. Kata itu semakin menjelaskan bayangan yang tadi melewati ruang fikirku. Seorang cowok yang baru saja ku kenal. Dia manis? 

Bermula dari tawaran mendadak  Alan, teman sejak SMP yang kebetulan mendapat job pemotretan untuk kegiatan sosial. Tawaran yang serba mendadak itu tidak sempat lagi aku tolak. Terlebih ketika Alan menjelaskan panjang lebar bahwa kegiatanya lebih banyak outdoor dan untuk kemanusiaan pula, membuatku tertarik. Selama ini aku lebih banyak bekerja di indoor. Ini adalah kesempatan bagiku untuk menikmati udara bebas. Walau dengan resiko terpapar sinar matahari, tapi aku pikir tidak masalah. Toh sekali-kali aku perlu membuktikan bahwa iklan sunblock itu benar. Bukan sekedar iklan.

Jadilah pagi itu aku bergegas mengikuti Alan yang menjemputku di rumah. Persiapannya serba mepet. Make Up ku pun sekenanya. Tapi Alan meyakinkan aku bahwa pemotretan kali ini konsepnya beda. Bukan sisi glamour yang utama. Tapi sisi natural model yang perlu ditonjolkan untuk dipadukan dengan alam bebas. Tidak perlu dandan lama-lama karena waktunya sangat mendesak.
Benar saja kata Alan. Beberapa teman telah menunggu kedatangan kami. Semua masih baru bagiku. Kami tidak sempat berkenalan, karena buru-buru ke lokasi pengambilan gambar yang memakan waktu sekira 45 menit dari pusat kota.

Tiba di lokasi, diadakan briefing, mendengarkan penjelasan dan arahan dari beberapa orang yang sepertinya memegang peranan penting dalam pengambilan gambar tersebut. Setelah itu, take gambar dimulai.

Kami mendapat kesempatan beberapa kali untuk beristirahat. Selain makan, kami gunakan waktu juga untuk ngobrol, saling kenal satu sama lain serta merapikan make up. Semua berjalan lancar. Apalagi tim produksi, aku sebut mereka demikian begitu baik kepada kami. Mereka kakak-kakak yang baik dan penuh perhatian.

Pengambilan gambar hingga sore hari. Setelah itu kami istirahat di bawah pohon bambu. Ya pengambilan gambar diadakan di hutan bambu yang bersebelahan dengan sungai. Pemandangannya sangat indah. Ada beberapa tenda yang di dirikan untuk kami tempati beristirahat, begitu pula, ada beberapa hammock yang diikatkan pada pohon bambu yang bisa kami gunakan untuk bersantai.
Aku mengambil beberapa gambar menggunakan ponselku untuk koleksi pribadi. Saat asyik berselfi itulah, seorang kakak cowok mendekat, menawarkan diri untuk memotretku. Alan sudah nyebur ke sungai sejak tadi sehingga aku tidak bisa meminta tolong dia memotretku.

Dengan suka cita aku mengansurkan ponselku kepadanya.
“Maaf, kak….”, aku diam sesaat, aku tidak tahu namanya mengingat perkenalan singkat tadi aku tidak sempat menyimak dengan baik-baik nama mereka satu persatu.

“Esa”, dia mengulurkan tangannya. Entah, hendak mengambil ponsel atau hendak jabat tangan?
Sesaat aku ragu. Dengan sigap dia mengambil ponsel dari tanganku yang telanjur terjulur lalu menjabat tanganku. Begitu cepat kejadiannya sehingga aku tidak sempat menarik tanganku kembali setelah dia mengambil ponsel.

Mata itu, dia lekat menatapku. Seketika aku tersipu. Aku menunduk malu. Aku berusaha menarik tangan yang masih digenggamnya.
“Eits, sebut nama dulu”, dia menahan tangaku.
“Desy, Kak!” Kataku sambil tetap menunduk. Aku tidak berani mengangkat kepalaku. Entah kenapa aku merasa tatapannya menusuk.

“Mau dipoto atau tidak?” Tanyanya setelah kami terdiam beberapa detik.
“Eh iya, mau”, jawabku. Sial kenapa aku jadi salah tingkah begini?
Aku mulai berpose, berusaha sesantai mungkin. Kak Esa beberapa kali mengambil gambar.
“Terima kasih yah, Kak”.
Aku mengambil ponsel lalu berjalan ke arah hammock. Sambil berbaring aku mengamati hasil jepretan Kak Esa tadi. Semuanya bagus.

Mataku lalu berputar mencari sosok itu. Iya berdiri di dekat tenda dengan posisi membelakangiku. Aku amati dirinya, tegap dan tinggi.
Awalnya aku tidak begitu memperhatikan Kak Esa. Boleh dikata tidak ada yang menonjol dari dirinya, kecuali kulitnya yang lebih gelap. Mungkin karena selalu bercengkrama dengan sinar matahari.

Tiba-tiba dia  memutar badannya. Aku tidak sempat mengalihkan pandanganku. Aku kepergok sedang mengamatinya. Seperti tadi aku merasa tercekat saat dia menatapku sambil tersenyum.
Ya Allah ternyata dia manis juga.

“Kenapa lihat-lihat aku, suka yah?” Kak Esa berjalan mendekat.
Aku menelan ludah, mengalihkan pandanganku. Kurasa detak jantungku mulai tak beraturan. Keresek daun bambu yang diinjaknya semakin jelas. Aku memejamkan mata. Ya Tuhan, kenapa pula dia harus melihat aku sedang mengamatinya.

Kak Esa menggoyangkan hammock sambil terkekeh. Keringat dingin mulai bermunculan di tubuhku. Tiba-tiba aku merasa sesak, haus, tapi juga kedinginan. Dinginnya mungkin karena angin sore tak henti berhembus. Entahlah.

“Biasanya kalau ada cewek yang diam-diam mengamati cowok, berarti cewek itu suka sama cowoknya. Desy suka sama aku yah?”
Sial Kak Esa mulai berani mengolokku.
“Aku,… maaf kak, tadi dak sengaja mengamati kakak,” jawabku asal.
“Santai aja, Des, aku suka kamu koq.” Ujarnya santai. To the poin. Singkat dan jelas.

Aku semakin meringkuk di hammock. Ingin sekali rasanya bagian tengah hammock itu bocor agar badanku bisa jatuh ke tanah dan aku bisa segera pergi dari situ.

Kedatangan Alan dari acara nyeburnya di sungai menyelamatkan aku dari situasi tersebut. Dia segera berganti pakaian. Kami bersiap-siap pulang. Yang bikin aku jengah Kak Esa tidak lepas memandangi aku. Beberapa kali pandangan kami bertemu, tapi kemudian aku hindari. Ada sesuatu yang aneh di dadaku tiap kali pandangan kami bertemu. Aku rasanya tidak suka dia melihatku, tapi aku suka melihatnya. Aneh.

Kami kemudian menuju mobil. Kak Esa dengan sigap membuka pintu mobil begitu aku mendekat. Lalu dia membisikkan satu kata saat aku mulai naik
“Sarangheyo,” bisiknya yang cukup membuat aku tertegun beberapa detik dan debar jantungku makin tidak karuan.

Tiga hari berlalu. Kak Esa tidak pernah berkabar. Aku mulai merasakan ada bibit rindu di sudut hatiku. Aku mulai suka memikirkannya. Seperti pagi ini, saat baru bangun, aku mulai memikirkannya. Bagaimana kabarnya? Dia lagi apa? 

Aku menjadi tidak sabar menunggu akhir pekan. Sesuai jadwal, pengambilan gambar hanya dilakukan pada akhir pekan. Dan rasanya sangat lama menunggu hari itu.
Sebuah jendela berderit. Seperti penghuni kamar sebelah sudah bangun, adikku semata wayang. 

Sayup kudengar alunan musik dari kamarnya
Yeah oh baby......
Bila Matahari saat ini tak cerah
Itu mendung, itu mendung
Bila bunga di taman tidak kehujanan
Itu layu, itu layu.

Hey.. itukan lagunya Sule. Yang Sarangheyo itu. Aku menajamkan pendengaranku. Benar, lagu Sule bersama Eru yang menggunakan empat bahasa dalam lagu terebut

I don't believe in all this happened to me baby
Aku tidak percaya
I don't believe in all this happened to me beibeh
I can't believe, Teu percanten
Sarangheyo aku cinta padamu
Sarangheyo aku sayang padamu
Sarangheyo abdi bogoh kasaliran
Sarangheyo kulo tresno sliramu

Oh my darling kamsanida

Aku ikut bersenandung sambil bersandar di daun jendela. Lagu itu koq jadi enak sekali didengar yah? Padahal kemarin-kemarin aku tida suka mendengarnya.
Ah mungkinkah karena Kak Esa membisikkan kata itu tiga hari yang lalu? Aku tersenyum memikirkan hal tersebut.

Kak Esa, aku sarangheyo padamu, bisikku dalam hati!
Semoga akhir pekan segera tiba.

 Sumber gambar : https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fae01.alicdn.com%2Fkf%2FHTB11Q7YnYSYBuNjSspiq6xNzpXa2%2F2018-Baru-Cinta-Hati-Stud-Earrings-Wanita-Korea-Lucu-Bergaya-Mode-Finger-Gesture-Desain-Anting-Perhiasan.jpg_q50.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fid.aliexpress.com%2Fi%2F32860513688.html&docid=_ohC0bOOHdETBM&tbnid=hP114nr57U9nqM%3A&vet=10ahUKEwi94arY1trkAhUJqY8KHS4DB4sQMwhTKAQwBA..i&w=800&h=800&safe=strict&bih=607&biw=1280&q=finger%20love%20cinta&ved=0ahUKEwi94arY1trkAhUJqY8KHS4DB4sQMwhTKAQwBA&iact=mrc&uact=8#h=800&imgdii=enhhDNo28JUw1M:&vet=10ahUKEwi94arY1trkAhUJqY8KHS4DB4sQMwhTKAQwBA..i&w=800

Monday, September 16, 2019

BAHAYA FITNAH


Boleh jadi yang kau dengar itu benar.
Tapi jangan langsung percaya begitu saja. Karena boleh jadi yang kau dengar itu tidak benar sama sekali. Apalagi jika itu cerita tentang orang per orang.
Mudah percaya pada perkataan orang menjadi pintu besar bagimu untuk memasuki ruang FITNAH. Berhati-hatilah! 

Satu kalimat fitnah yang kau dengar lalu kau sampaikan lagi pada orang lain menyebabkan seorang yang ter-fitnah terbunuh berkali-kali. Bahkan dukanya lebih dalam daripada kematian.
Boleh jadi kau tahu persis bahwa orang yang difitnah tidaklah demikian. Tapi kau memilih diam. Merasa tak perlu meluruskan hal yang sebenarnya kau tahu bahwa itu bengkok. Bahkan apa yang dituduhkan padanya sebenarnya ada padamu.

Pilihan diam-mu itu, cepat atau lambat akan menjadi duri bagimu. Terlebih jika yang difitnah memilih bersabar sembari mengelus dada. Untuk hal ini, kelak kau akan mendapatkan balasannya.
Bagimu yang mendapat FITNAH, tersenyumlah. Kau sedang diuji untuk naik kelas. Kau tak perlu sibuk berteriak melawan, karena kebenaran akan terungkap.

Adalah lebih baik jika yang selama ini menfitnah-mu menjalani pengadilan tertinggi, PENGADILAN HATI.

SOGA, Sebuah Surga yang Tersembunyi.



Matahari begitu cerah, membuat cuaca cukup terik. Tapi tidak di sini di sebuah hutan bambu, sangatlah sejuk. Kunamai tempat ini sebagai sebuah SURGA yang tersembunyi. Tepat di sisi hutan bambu, membentang sungai berair bening yang menyuguhkan panorama indah.
Membuat aku yang berkali-kali ke sini masih terpana. Masih takjub. Dan tak tahan untuk tidak menceburkan diri. (Untuk urusan nyebur disarankan memakai pelampung mengingat kedalaman sungai berkisar 40-70 meter ; sesuai keterangan warga setempat).

Sejuknya air sungai seolah menjadi sarana terapi.
Desir angin yang menggoda dedaunan pohon bambu menjadi irama yang menenangkan. Lahir sebuah lagu tanpa syair namun begitu syahdu. Membuatku asyik berlama-lama. Melupakan waktu untuk kembali ke dunia nyata.

Piknik selalu menyenangkan. Alam selalu menenangkan. Membuatku mudah mengingat hal-hal positif. Memberi inspirasi untuk melihat segala sesuatu dengan lebih baik.
Udara sejuk memenuhi rongga dadaku. Hidup terasa lebih ringan ( entahlah besok saat di ruang kerja, hahaha). Semoga aura positif yang kutemukan di sini dapat bertahan lama, menjadi motivasi untuk melakukan kewajiban sebagai pekerja, sebagai pelayan.

Bukan perkara mudah menjalani hari Senin hingga Jumat. Namun piknik ibarat men-charger semangat untuk melakukan kewajiban-kewajiban tersebut.

Aku siap menjalani hari esok!

Terima kasih untuk keluarga besarku di Soga yang selalu siap menerima tiap aku berkunjung, bukan aku saja, bahkan dengan rombonganku. Terima kasih selalu siap direpotkan.
Cc Bapak Budirman Azis, Wawan Soga, Yulis, Appy Tenratu Wiwin Haswinardi, Bapak Hamzah, Santi Soga, Neng Verha Libra

#soga#surgayangtersembunyi#ayokesoga

Friday, September 13, 2019

Sebuah Perjalanan


Bahkah pada saat tidurpun aku masih melakukan perjalanan. Terkadang dalam perjalanan tersebut menemui hal-hal yang tidak masuk akal.
*****
Kami bersama-sama meninggalkan ruang pertemuan. Berjalan bergerombol sambil bercanda. Setelah seharian duduk rasanya sangat senang bisa berjalan sambil bercanda. Sedianya kami akan kembali ke penginapan. Namun seorang teman mengajak kami untuk melihat-lihat beberapa tempat di kota besar ini. Ya kami berada di Jakarta.

Sebelum meninggalkan gedung pertemuan itu, aku pamit sama teman-teman untuk ke toilet. Beberapa dari kami juga menuju toilet. Ada sekitar 5 orang yang ke toilet termasuk aku. Tiga orang diantaranya cowok. Aku jelas melihat Jusman ke tolilet juga. Tapi kenapa begitu keluar toilet tidak satupun teman yang aku lihat? Entah aku yang kelamaan di toilet atau teman-teman tidak mendengar ketika aku pamit? Ketika keluar dari toilet, tidak satupun temanku yang kulihat. Padahal tadi kami ada ber-lima belas atau tujuh belas. 

Aku mencari-cari mereka di sekitar gedung tinggi itu. Suasana masih ramai, namun tidak ada satupun yang aku kenal. Hmm begitu cepat teman-teman pergi? Tapi mereka kemana? Mengapa sampai meninggalkan aku? Atau mereka tidak menyadari bahwa aku belum ada dalam rombongan?
Setelah hampir memutari area gedung dan tidak menemukan satu orang teman pun, aku memutuskan menyusuri jalan keluar yang ada di samping gedung. Aku memutuskan berjalan kaki. Entah kenapa pula aku yakin bahwa teman-teman ada di depan dan juga berjalan kaki.

Kiri kanan jalan sepi. Aku berpapasan dengan beberapa pengguna jalan yang menggunakan sepeda motor maupun mobil. Hanya aku yang berjalan kaki.
Tiba-tiba jalanan di depanku menanjak terjal. Sangat terjal. Aku hampir tidak percaya demi melihat jalanan yang berdiri serupa dinding. Kemiringan sembilan puluh derajat. 

Aku meneruskan langkah. Bukan lagi melangkah tapi tepatnya aku mendaki jalanan aspal itu. Bagaimana mungkin ada jalan sepeti ini, pikirku sambil tetap berusaha meneruskan perjalanan. Alhamdulillah aku berhasil melewati jalan terjal tersebut. Hanya saja HPku hampir jatuh. Untung kemudian berhasil memindahkan HP  dari saku ke mulutku. Ya aku menggigit HP sambil mendaki jalan tersebut.

Begitu tiba di puncak jalan, seorang bapak yang mengendarai sepeda motor warna merah kesulitan menurunkan motornya. Kami tadi berlawanan arah. Dia meminta aku membantunya menurunkan motor tersebut. Sambil memegang setir motornya, aku memandang jalanan di bawah yang baru saja kutinggalkan dengan perasaan takut jatuh. Aku ingin membantunya, tapi di sisi lain aku takut semakin tertinggal dari teman-teman.
Aku masih mematung memegang motor tersebut ketika tiba-tiba terdengar adzan.
Aku terbangun.

*****

Mimpi semalam,
Aku terbangun saat adzan subuh berkumandan.

Wednesday, September 11, 2019

Sore di Lembah Cinta

Aku menulis kisah ini dengan tujuan menjadi pengingat bagi diriku, ketika bermain ke hutan untuk lebih berhati-hati dan tidak memisahkan diri dari orang banyak.

Minggu 8 September
Sore, lepas Ashar, waktu itu sekira pukul 16.00, aku bersama Andev menuju Lembah Cinta di Desa Mattabulu. Sebuah spot wisata di tengah hutan pinus itu selalu menggoda kami untuk berkunjung. Kami memang kerap menghabiskan waktu di sana, terlebih jika lagi waktu libur. Bahkan beberapa kali kami menginap di Mattabulu. Suasana sejuk dan tenang di sana mampu menahan kami, membuat kami enggan melangkah pulang.

Minggu sore kemarin, akhirnya kami memutuskan menempuh jalan kecil di antara gunung dan jurang menuju Lembah Cinta. Kami tidak butuh waktu yang lama. Jalanan tidak begitu ramai. Kami hanya berpapasan beberapa pengendara yang sepertinya telah pulang dari Lembah Cinta Mattabulu.
Dalam perjalanan, kami mengobrol tentang cerita KKN di Desa Penari yang lagi viral itu. Perjalanan untuk mencapai Lembah Cinta membuat kami membayangkan bahwa kondisi jalanan tidak jauh beda seperti yang digambarkan dalam cerita Desa Penari tersebut. Begitu juga letak Desa Mattabulu mungkin kurang lebih sama dengan Desa Penari, sebuah desa di hutan.

Pada sebuah belokan yang agak tajam, tiba-tiba bulu kudukku meremang. Aku sedikit bergidik ketika mengingat omongan orang bahwa saat bulu kuduk tiba-tiba meremang, maka berarti ada makhluk tak kasat mata di sekitar kita. Aku berusaha mengatasi perasaan takut yang mulai menjalar. Aku melanjutkan obrolan dengan tema yang lebih ringan. Tapi lagi-lagi bulu kudukku meremang. Dua kali aku rasakan dengan jelas tengkuk-ku menjadi lebih dingin dari sebelumnya. 

Setelah beberapa menit, akhirnya kami tiba di Lembah Cinta. Arhul, teman kami tiba lebih dahulu. Kami mendapati Arhul sedang menikmati tuak manis. Kami langsung bergabung, menikmati tuak manis di antara pohon pinus. Cuaca yang dingin menambah suasana lebih nyaman.
Usai meminum tuak, aku dan Andev lalu sepakat jalan-jalan untuk mengambil beberapa gambar. Kami tidak masuk di kawasan wisata, yang saat itu masih terbilang ramai. Masih ada pengunjung yang bermain flying fox, serta melakukan kegiatan wisata lainnya. 

Kami memilih menyusuri jalan selasar yang arahnya menjauh dari lokasi wisata. Aku lalu mengatakan perihal tengkuk-ku yang tiba-tiba terasa dingin diperjalan tadi. Saat yang sama aku kembali merasakan tengku-ku lebih dingin. Serasa ada yang berdesir di belakan kami. Ternyata Andev merasakan hal yang sama. Tapi kami berusaha mengatasi perasaan itu. Kami terus melangkah.
Akhirnya kami menemukan jalan beton diantara pohon pinus.Kami lalu sepakat untuk mengambil gambar di tempat itu. Berhubung kami cuma berdua dan awalnya tak ada yang mau menjadi potografer, akhirnya kami sepakat menggunakan tripod. Kami mengambil beberapa gambar poto dan video untuk keperluan medsos kami. Hanya untuk bersenang-senang. Kami lalu melupakan perasaan aneh tadi. Kami benar-benar larut mengambil gambar.

Kami bergantian saling protes setiap kali melihat hasil gambar, apakah itu video atau poto sehingga kami mengulang beberapa adegan dan pose berkali-kali. Padahal adegan kami cuma berlari. Pose kami pun tidak macam-macam. Kalau tidak duduk ya berdiri. 

Selagi asyik melakukan kegiatan kami, beberapa petani pekebun lewat disamping kami. Mereka menggunakan motor sambil membawa hasil kebun. Mereka menatap kami dengan heran tapi kemudian menyapa kami dengan ramah. Aku lalu menyampaikan kepada mereka bahwa kami sedang mengambil beberapa gambar.

Tanpa kami sadari hari semakin sore. Memang kami tidak lagi pernah melihat jam. Kami fokus untuk melihat setiap poto atau video yang kami ambil. Lagipula matahari masih nampak terang, yang kami lihat di antara pohon-pohon pinus. 

Selagi kami asyik, ternyata disaat yang sama, teman kami telah kebingungan mencari kami. Pengunjung di lokasi wisata semakin kurang. Satu persatu mereka mulai pulang. Kami belum kelihatan di antara pengunjung. Arhul dan Endri akhirnya berkeliling mencari kami. Tapi nihil, mereka tidak menemukan kami. 

Sementara hari semakin sore. Jarum jam hampir menunjuk angka 18 (delapan belas). Teman-teman semakin gelisah. Mereka telah mengelilingi lokasi wisata, menanyai pengunjung apakah ada yang melihat kami. Tapi tidak seorang pun yang melihat kami. Ya kami memang tidak masuk di lokasi wisata tadi. 

Mereka lalu menyusun rencana, akan menunggu kami sampai pukul 18.00. Jika sampai waktu itu kami tidak ditemukan mereka sepakat meminta bantuan di desa bahkan berniat menghubungi BPBD.
Ohhh begitu resahnya mereka, mencari kami disaat kami lagi asyik dan tidak merasa cemas sama sekali. Kami tidak sadar bahwa waktu telah sore. Kami tidak tahu bahwa teman-teman kami gelisah mencari sejak tadi.

Perasaan Arhul semakin tidak enak. Dia hampir putus asa ketika kemudian dia melihat jalan selasar. Dia lalu mengajak Endri menyusuri jalan itu. Akhirnya mereka menemukan kami. Waktu itupun kami masih mengambil gambar.
Kami lalu diajak pulang. Diingatkan bahwa tidak baik berada di hutan saat menjelang malam. Kami seperti baru sadar dan segera menyudahi aktifitas kami. Tanpa rasa bersalah sedikit pun kami mengemasi peralatan lalu beranjak pulang. Bahkan masih sempat protes kalau kegiatan kami belum selesai. Arhul dan Endri hanya tersenyum kecut.

******

Selasa 10 September
Kami biasanya nongkrong di pelataran Galery UKM. Menikmati kopi dan roti bakar langganan kami. Lepas Isya aku menuju Galery UKM. Sebuah mesin ATM di tempat tersebut menjadi tujuan utamaku. Ternyata Arhul sudah duduk di meja (bookingan) kami. Teman-teman yang lain belum muncul. Dia lalu memesan milo panas dan roti. Sembari menikmati milo-nya dia lalu menceritakan upaya pencariannya pada Minggu sore kemarin. Aku menjadi terperangah, melongo dan sejenisnya. Sungguh aku tidak tahu bahwa mereka panik saat itu. Dan aku baru tahu malam ini. Dua hari setelah kejadian tersebut.

Aku berkali-kali meminta maaf. Aku bisa bayangkan betapa bingungnya dia saat itu.
“Kalau kalian tidak ditemukan, aku tidak pulang, aku minta tolong sama Mas Endri untuk mengabari orang di kampung untuk membantu kita mencari kalian. Aku juga meminta dia menghubungi BPBD atau apalah yang bisa mencari orang hilang di hutan.” Jelas Arul dengan mimik serius.
Aku geleng-geleng kepala mendengarnya. Aku bebar-benar tidak sadar bahwa kemarin itu telah membuat teman-teman kami resah.

“Maaf, aku dan Andev tidak tahu jika kalian mencari kami. Kami malah asyik ketawa-ketawa. Tidak menyadari jika hari semakin sore,” jelasku.
“Iya, yang kami takutkan, kalian hilang. Cuaca gelap bisa saja membuat kalian lupa kalian berada di mana. Tidak melihat jalan pulang, sementara waktu itu gelap mulai turun.” Lanjut Arhul.
Kami memang beberapa kali bermalam di hutan maupun di gunung. Tapi kami selalu bersama-sama, rombongan. Baru kali ini aku dan Andev pergi berdua, agak menjauh dari kerumunan.
Arhul lalu mengingatkan bahwa tidak aman menjauh dari kerumunan saat berada di hutan. Apalagi ketika menjelang malam. Bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Mendengar itu aku bergidik ngeri. Demi mengingat betapa tengkuk-ku terasa dingin saat aku mulai menyusuri jalan selasar, sore itu.

“Kami kan tidak jauh dari lokasi wisata. Apakah suara kami tidak kedengaran? Padahal aku dan Andev ngobrol, cukup keras suara kami.”
“Tidak sama sekali,” jawab Arhul.
“Yang membuat aku makin resah, aku naik ke baruga, mencari kalian dari ketinggian, tapi aku tidak melihat sama sekali.” Lanjut Arhul.
Padahal aku dan Andev berada tidak jauh dari Baruga.

*****

Buat teman-teman, terima kasih dan maaf. Terima kasih atas keresahan kalian saat kami tidak kelihatan. Ternyata masih ada yang peduli, dan maafkan telah membuat kalian capek mengelilingi tempat wisata dan sekitarnya demi menemukan kami.
Kalian bukan sekedar teman. Kalian adalah sahabat, dan bukan sahabat palsu

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG