Sunday, June 30, 2019

SALAH ORANG

Aku lagi menekuni laptop ketika kakak memintaku mengantarnya keluar. Malam belumlah larut, baru sekira pukul 20.05. Aku lalu mengantarnya ke toko. Dia berniat mencari kain bahan baju. Sayangnya kami tidak menemukan jenis kain yang dia mau meski kami telah menyamperi beberapa toko. Kakak lalu meminta di antar ke anjungan tunai mandiri. Setelah mengecek tiket untuk perjalanan kami bulan depan, kakak memutuskan membeli tiket malam ini. Kebetulan dia akan berangkat lebih cepat daripada aku.

Tidak lama antri, kakak lalu masuk, melakukan transaksi. Aku menunggu di kursi yang disediakan di depan ruangan mesin ATM sambil memaikan HP. Beberapa saat kemudian kakak keluar dan duduk di sebelahku. Aku masih asyik memencet keypad di HP, sampai kemudian kudengar dia dia bersuara, menyampaikan bahwa dia salah transaksi. Harusnya ditransfer tapi malah tarik tunai.
Saat kami ngobrol, seorang laki-laki keluar dari ruang ATM. Dia senyum lalu berjalan ke arahku. Semakin dekat, dia mengangkat tangannya. Kupikir dia mau berjabat tangan denganku.
Aku membalas senyumnya dengan ramah. Saat itu juga aku berdiri, tanganku terlanjur terulur hendak menyambut tangannya yang ternyata hanya mau buang sampah/ struk transaksinya. Ternyata ada bak sampah di kanan kursi yang aku duduki. Untung kemudian dia menyambut tanganku setelah membuang gulungan kertasnya di bak sampah.

Jelas dia bingung, karena dia tidak mengenalku sama sekali. Akupun bingung karena setelah kuperhatikan, ternyata akupun tidak mengenal orang itu. Lalu otakku bekerja dengan cepat.
“Masih ingat kan?” tanyaku, berspekulasi.
Senyumnya mengabarkan bahwa dia tidak mengenalku sama sekali.
Aku tertawa dalam hati. Iya akupun dak tahu dia siapa, hanya saja tangan ini terlanjur terulur dan kami terlanjur jabat tangan.

“Aku, Asya, yang di SIMPUL, dulu.”
“Simpul?” Keningnya berkerut
“Iya, Simpul, tempat  mangkalnya Husni. Aku temannya Husni,” tambahku lagi. Tiba-tiba saja terlintas nama Husni untuk kujadikan penjelas tentang siapa diriku.
“Husni…?” kalimatnya mengambang.
“Yang Polisi”, jawabku, dengan senyum meringis karena saat itu aku makin yakin dak mengenal orang yang di depanku.
“Ooo”, lanjutnya sambil mengangguk-angguk. Tapi nada ooo-nya itu lucu. Terdengar makin bingung. Ada beberapa lipatan di keningnya.

Aku yang berdiri di depannya tidak dikenalnya, lalu orang yang kusebut barusan juga tidak dikenalnya. Aku menertawai diriku dalam hati. Apa boleh buat, terlanjur berlaku ramah pada orang tersebut. Aku memaniskan senyumku yang kurasa mulai kecut.
Hmmm, aku harus segera berlalu dari tempat yang mulai terasa tidak nyaman. Kakak yang sejak tadi menyaksikan percakapan kami juga senyum-senyum ramah kepada orang yang mungkin dikiranya teman lamaku.

“Ya, sudah aku dulu,” pamitku.
“Oh iya, hati-hati,” balasnya tak kalah ramah.
Aku lalu melangkah ke tempat parkir sambil menahan tawa dalam hati
Hahhahah, yah salah orang. Tapi lebih baik salah orang dari pada menjadi orang salah.

Thursday, June 27, 2019

BONDENG


BONDENG*
(bahasa bugis : tubuh yang padat berisi)
BONDENG, ada 3 (tiga) orang teman yang aku panggil demikian. Padahal sebenarnya nama mereka lebih bagus. Tapi aku senang memanggilnya Bondeng. Bagiku, Bondeng adalah panggilan sayang untuk mereka bertiga. Alasan pertama, karena tubuh mereka memang sedikit Bondeng (padat berisi), alasan kedua, mereka bertiga tidak ada yang protes. Mereka asyik-asyik aja saat kupanggil demikian.

BONDENG 1, ANI. 
Dia adalah gadis manis yang tinggal di belakang rumah. Tetangga cantik, ramah, serta ringan tangan. Kulitnya yang eksotis menjadi daya tariknya dibalik senyumnya yang selalu rekah. Aktifitas sehari-hari sebagai guru non PNS di sebuah sekolah lanjutan atas. S1 Biologi ini sampai hari ini belum dapat rezeki menjadi PNS. Namun demikian, semangat kerjanya luar biasa. Jarak sekolahnya yang sekitar 20 kilometer dari rumah tidak menjadi masalah baginya. 

Sebagai tetangga, dia patut mendapat acungan jempol. Bagi kami ,Ani sekeluarga sudah seperti saudara. Hampir semua pekerjaan rumah dia bantu dengan senang hati. Dalam sehari, dia menghabiskan waktu di dua rumah yakni rumahnya dan rumahku. Jarak rumah kami hanya sekitar 2 meter, terpisah oleh saluran air dari balai benih ikan yang kebetulan salurannya di belakang rumahku, tepatnya di depan rumah Ani.

Saat-saat terdesak, Ani adalah salah satu orang yang kupanggil. Memanggilnya pun sangat mudah. Aku cukup melongok di jendela belakang lalu meneriakkan namanya. Berikutnya dia muncul di tangga rumahnya sambil bertanya, “ada apa Kak?” Detik berikutnya dia sudah tiba di rumah dan melakukan apa yang kuminta. Paling sering aku minta ditemani makan, atau minta dia bantu beres-beres. Dia tidak pernah menolak. Mungkin kedekatan rumah kami menjadi faktor yang mempengaruhi kedekatan keluarga kami. Ayah, ibu serta saudara Ani pun sangat baik kepada kami. Waktu kami terkena musibah dapur terbakar tahun lalu pada dini hari, satu-satunya tetangga bangung yang membantu kami memadamkan api adalah keluarga Ani. 

Selalin itu, apapun yang mereka makan pasti dibagi, begitu pula kami. Bahkan jika Dhyba pulang cuti, ibu Tati (mamanya Ani) suka menyediakan makanan kesukaan Dhyba.
Terkadang juga, tanpa angin tanpa hujan, ibu Tati mengantarkan makanan lengkap dengan lauknya ke rumah. Paling sering sih, tiba-tiba dia masak ayam lengkuas terus diantarkan ke rumah. Katanya itu ayam kami. Padahal itu ayam dia juga, tapi dimasak khusus buat kami sekeluarga. 

BONDENG 2, EKA
Gadis berkulit putih dengan lesung pipitnya. Aku menyebutnya sebagai santri yang menenangkan. Paling rajin membaca doa. Semua kegiatan ada doa khusunya. Jebolan Universitas Wali Barokah ini punya tingkat kesabaran yang luar biasa. Berada pada satu kantor empat tahun terakhir ini cukup membuat aku mengenalnya dengan baik. Apalagi awal dia bergabung, kami satu ruangan, bahkan pekerjaan kami saling terkait. Posisinya sebagai Bendahara di kantor kala itu membuatku harus bekerjasama dengannya terutama dalam mengerjakan laporan keuangan.

Dari bekerjasama inilah akhirnya aku tahu betapa sabarnya Bondeng yang satu ini. Aku paling tidak suka menunda waktu dalam menyelesaikan pekerjaan. Bahkan terkadang aku mau kerjaan selesai saat itu juga. Dan jika tidak selesai, tidak jarang aku memarahinya. Tapi dengan sabar, Eka bisa mengimbangiku. Dengan kesabarannya itu, dia memilih diam ketika belum menyelesaikan apa yang kuminta. Dengan suara yang pelan dia berkata, “tunggu, Kak. Nanti selesai juga.”

Senang berbagi, salah satu dari sekian banyak sifat baik yang Eka miliki. Dia paling sering memberiku cokelat ataupun es krim. Dia sepertinya hapal jika aku sudah mencak-mencak meminta kerjaannya maka bisa diredam dengan cokelat. Untuk itu aku angkat jempol. Karena dijamin berikutnya aku tidak ngomong lagi, tapi sibuk mengunyah cokelatnya atau mengemut es krimnya sambil tidak henti mengucap terima kasih.

Satu hal lagi, Eka paling enak jadi tamu. Karena begitu tiba di rumah, dia tidak berlagak tamu. Baginya kamar-kamar di rumah adalah miliknya juga. Kamar tidurku adalah kamarnya. Bahkan dia mengaku jika sudah tidur di kamarku pasti susah bangung. Begitu juga ruang makan, dia kenal sudut-sudutnya dengan baik. Sehingga aku tidak perlu repot ketika dia main ke rumah. Dia sepertinya memang sudah hapal letak-letak makanan. Bahkan pernah sekali kami mudik, dia dengan santainya singgah di rumah, mandi, ganti baju, makan, istirahat. Padahal saat itu rumah kosong. Dia hanya mengirim pesan pendek bahwa dia ada di rumah, lalu kuarahkan ambil kunci rumah pada tempat penitipan. 

BONDENG 3, SRI.
Kami kenal karena satu profesi, sama-sama mengerjakan laporan keuangan kantor kala itu. Cantik, ramah dan murah senyum, itu kesan awal yang kudapatkan ketika bertemu dengan seorang gadis berkulit putih. Seiring waktu, kami menjadi akrab. Saling berbagi informasi terkait pekerjaan kami. Saling mensupport apalagi jika sudah dikejar waktu. 

Letak rumah dan kantor kami yang berjauhan bukan masalah. Kami bisa saja bertemu setiap hari, tergantung dari kesempatan. Dan ada-ada saja yang kami bahas lalu kami tertawakan.
Menyelesaikan pekerjaan di café sambil menikmati makanan minuman favorit kami kadang menjadi pilihan ketika sudah penat duduk di kursi kantor. Bahkan terkadang melakukan perjalanan keluar kota untuk sekedar menghibur diri.

Bondeng yang satu ini seringkali mengingatkanku ketika kami berbelanja. Pernah sekali waktu kami main ke mall tanpa tujuan hendak membeli apa. Setelah nonton dan makan, kami lalu jalan-jalan melihat barang-barang. Lalu aku tergoda lipstick warna natural dan berniat membelinya. Dia lalu mengingatkan tentang lipstiku dengan warna yang sama di rumah. “Habisin dulu lipstick yang di rumah, “ katanya yang membuat tanganku spontan mengembalikan lipstick pada tempatnya. 

Sekali waktu dia mengidamkan baju warna kuning. Kami lalu berboncengan ke kota sebelah mencari baju. Kami menemukan kaos kuning, yang menurutku sudah bagus. Coraknya yang berupa peta cukup menarik di mataku. Seperti biasa, aku paling cepat tergoda melihat barang-barang jualan. Tapi dia lalu mengingatkan aku bahwa itu cukup mahal. Lalu seperti biasa akupun meletakkan barang itu kembali. Hal yang sama dia lakukan juga jika aku sudah kalap melihat deretan sepatu.

Selain hal di atas, yang membuat kami dekat adalah karena dia termasuk teman yang loyal. Aku tidak segan mengajaknya makan walaupun saat itu sedang tidak pegang duit. Karena aku tahu dia pasti membayarkan. Untuk urusan bayar makanan ini kami lakukan bergantian. 

Bondeng satu ini pecinta doraemon. Barang apapun yang ada gambar doraemon membuat dia lupa diri. Kamarnya tak ubahnya taman doraemon. Ada satu kejadian lucu, saat itu kami mau rapat. Dia datang terlalu pagi di rumah. Aku baru saja selesai mandi dan belum sempat merapikan pakaian. Pakainku masih teronggok di samping sterika. Dia lalu memintaku bersiap-siap sambil dia sterika bajuku. Lalu aku menambahkan satu baju kaos (dalam) untuk dia sterika. Cukup lama aku menunggu baju itu selesai. Aku lalu membuka pinta kamar karena bosan menunggu baju kaos itu selesai disterika. “Mana bajunya?” tanyaku. Dia senyum-senyum lalu menunjuk tasnya. Baru aku sadar bahwa kaos tadi bergambar doraemon, dan setelah dia sterika, dia amankan dalam tasnya. 

3 (tiga) bondeng yang ku kenal. 3 (tiga) bondeng yang selalu baik padaku. Semoga kalian selalu sehat dan selalu mendapat petunjuk dalam menyelesaikan tugas-tugas kalian. Semoga doa-doanya terkabul dan cita-citanya tercapai. Aamiin.
Tetaplah jadi bondeng-bondeng ku yang terbaik.




Saturday, June 15, 2019

(Gambar) Nasi Kuning


Waktu kecil, ibu sering membuat nasi kuning sebagai bekal ke sekolah terutama setelah ulangan kenaikan kelas. Biasanya pada hari kenaikan kelas, ada acara makan-makan dimana masing-masing murid membawa bekal dari rumah. 

Nasi kuning menjadi menu favoritku. Apalagi nasi kuning buatan ibu, sangat enak. Ibu dengan piawai mengolah beras putih menjadi nasi berwarna kuning yang terasa gurih dengan aroma yang khas. Diantara butir-butir nasi yang berwarna kuning itu ada irisan bawang dan irisan sereh yang sudah digoreng. Dua campuran itu berangkali yang membuat nasi kuning ibu terasa sangat enak. Selain itu, ibu selalu melengkapi nasi kuning tersebut dengan sambal tomat dan telur itik yang direbus.
Seiring waktu, aku mulai mengenal banyak makanan yang lain, sehingga perlahan aku tidak lagi begitu suka nasi kuning. Mungkin juga karena bukan lagi ibu yang memasaknya. Cita rasanya berbeda. 

Lidahku telah terbiasa dengan nasi kuning plus aroma bawang dan sereh goreng di tambah sambal tomat dan telur rebus. sehingga ketika aku tidak menemukan itu di nasi kuning, auto otakku aktif dan mengirim pesan ke idahku untuk berani mengucap bahwa nasi kuningnya tidak enak. Akhirnya jika makan di luar, aku berpikir untuk memilih nasi kuning di antara deratan menu-menu lain.
Namun dua malam lalu, aku tidak punya pilihan lain, hanya nasi kuning. Ceritanya malam itu ada rapat di kantor ditambah ada beberapa kerjaan yang belum selesai sehingga aku memutuskan menginap. Tidur di ruang kerja bukan hal yang baru bagiku. Ketika ada banyak kertas di atas meja, terkadang aku memilih menyelesaikannya ketimbang pulang tidur. 

Aku lalu meminta tolong teman untuk membeli nasi, mengingat besok aku mau berpuasa, sehingga merasa perlu untuk sahur. Sebenarnya yang kubayangkan adalah nasi putih, tapi ketika teman datang, malah dia membawa nasi kuning. Katanya warung pada tutup. Kebetulan waktu itu sudah menunjukkan angka 01.45 dini hari.

Aku lalu menerima bungkusan itu dan langsung membukanya. Hmmm sama sekali tidak ada aroma seperti aroma nasi kuning buatan ibu. Terlebih lagi pada saat memakannya, sama sekali tidak ada rasa sebagaimana nasi kuning buatan ibu yang terasa gurih dan beraroma wangi.
“Hmmm, gambar nasi kuning”, gumamku sambil terus mengunyah nasi tersebut. Aku tidak mampu memakan banyak, yah karena nasi yang berwarna kuning tersebut sama sekali tidak ada rasanya. Mungkin dimasaknya tidak pakai santan sebagaimana ibu memasak nasi kuning. Namun walaupun memakan gambar nasi kuning untuk sahur, aku tetap kuat berpuasa besoknya.

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG