Monday, December 31, 2018

Setelah Tiga Puluh Lima Hari


Dini hari, maka jadilah beberapa pekerjaan yang tertunda selama ini.
Malam begitu larut. Jarum jam baru menunjuk angka 01.34. Detak jarumnya jelas kudengar. Ditingkahi suara binatang malam yang menyanyikan senandung sepi. Mata ini masih sangat segar, walaupun telah mengakrabi layar laptop sejak siang tadi.

Aku sedang chat bersama Eva, salah satu teman kerja. Mendiskusikan pekerjaan kantor lewat aplikasi WA. Kehadiran aplikasi ini kurasa sangat membantu untuk membahas pekerjaan yang tidak terselasaikan di kantor karena keburu jam pulang.

Diskusi kami tadi mengingatkan aku kejadian bulan lalu. 35 hari yang lalu, tepatnya 27 November 2018, kami janjian untuk melanjutkan pekerjaan malam harinya via WA. Tentunya setelah anak-anak Eva tidur. Pulang dari kantor, aku malah kepikiran mau menyiram bunga di rumah Kayangan. Selepas Magrib, aku ke sana, membersihkan taman yang sudah ditumbuhi rumput dan menyiram bunga. Memang ada beberapa hari aku tidak berkunjungan ke rumah itu.
Lewat Isya, aku meninggalkan rumah Kayangan. Mengingat ada beberapa barang keperluan maka aku putuskan lewat jalan memutar untuk pulang ke rumah, ya aku lewat jalan Kayangan yang sebenarnya lebih jauh jaraknya.

Malam itu aku membawa motor dengan pelan. Ya perasaanku sangat pelan. Tiba-tiba saja ada seekor anjing di depan motor, dan….aku menabraknya dan terjatuh. Kurasakan badanku terhempas di jalanan. Selanjutnya gelap. Namun samar-samar aku menangkap suara orang di sekelilingku. Aku merasa badanku diangkat dan diletakkan di lantai sebuah rumah. Sementara Rahmah yang tadinya aku bonceng sayup-sayup kudengar menangis, sehingga tidak dapat menjawab pertanyaan orang tentang siapa kami, dari mana dan mau kemana.

Saat itu aku merasa tidak berdaya. Entah kemana kekuatanku, jangankan untuk bersuara, untuk membuka mata pun aku tak mampu.
Kurasakan ada tangan yang sibuk memijit lengan kananku, sambil mengingatkan agar aku mengingat menyebut nama Allah. Aku menangguk pertanda aku dengar kalimatnya. Ketika orang itu menanyakan bagian yang sakit, aku hanya bisa memiringkan kepala ke kanan masih tanpa membuka mata.

Semua badan bagian kanan terasa sakit. Pundak, pinggang ke bawah. Bahkan aku tidak merasakan lututku. Ada apa dengan lututku, kakiku? Aku tidak merasakan apa-apa dibagian tersebut. Lalu kukumpulkan segenap tenagaku, kemudian aku bertanya,… bu tolong liatkan, ada apa dengan lututku, apa masih ada? Ibu itu menjawab bahwa lututku baik-baik saja. Masih ada. Mungkin benturan keras di aspal membuatku tidak merasakan apa-apa disana.

Rahmah masih saja menangis. Sementara kakak yang ditelepon belum juga mengangkat teleponnya. Akhirnya entah inisiatif siapa, Tim PSC tiba. Petugas kesehatan reaksi cepat ini selalu siaga setiap ada warga yang membutuhkan pertolongan. Perlahan aku merasakan tubuhku diangkat. Samar kulihat kakak ipar diantara orang yang mengurusku itu. Mobil PSC membawaku ke rumah sakit. Seumur-umur inilah yang pertama kalinya aku naik ambulas dalam kondisi sakit. Aku mendengar roda yang beradu dengan aspal. Rasanya lama sekali perjalanan ke rumah sakit, sementara setiap goncangan di jalan menyisakan sakit yang luar biasa.

Selanjutnya aku merasakan brankar diturunkan dari ambulans dan di dorong. Aku yang terbaring di atasnya masih seperti tadi, tidak mampu bersuara dan membuka mata. Lagi-lagi aku menikmati suara roda yang beradu dengan lantai ubin. Seperti lagu yang sangat resah, sama seperti resahnya aku yang mengalami kecelakaan justru disaat aku seharusnya fit dan menyelesaikan pekerjaan. Jelang akhir tahun selalu sarat dengan pekerjaan. 

Ah bukankan malam ini aku janjian dengan Eva? Terbayang wajah Eva yang mungkin sudah berkali-kali menghubungiku. Mungkin dia kesal, mungkin dia kecewa, entahlah. Apapun yang dia rasakan, dia akan rasakan hal itu hingga dia tau bahwa aku ingkar janji karena mengalami kecelakaan.
Kurasakan brankar didorong memasuki sebuah ruangan. Kucoba membuka mata sejenak. Aku ternyata sudah berada di UGD. Selanjutnya kudengar beberapa orang menanyakan kartu tanda pengenal, KTP, BPJS dan semacamnya. Semua ada di dompetku. Semoga mereka menemukannya.
Seorang perawat kemudian membersihkan luka di lutut. Tak lama kemudian dokter pun datang, menanyakan bagian yang sakit. Aku lagi memberi isyarat bahwa badan bagian kanan sakit semua. Lalu disuruhnya aku membuka mata namun aku tidak mampu. Aku kembali memejamkan mata. Mencari posisi yang nyaman agar rasa sakit bisa berkurang.

Alhamdulillah kakak pun tiba di ruang UGD. Dia kemudian mengurus segala sesuatunya, hingga ke ruang Radiologi. Yah, lutut kanan mesti di poto, karena ternyata aku tidak mampu menggerakkannya. Perjalanan dari UGD ke ruang Radiologi ditempuh dengan sangat lama. Aku merasakannya sangat lama. Menikmati lagu pilu roda brankar yang beradu dengan lantai. Apalagi yang dapat kunikmati selain itu?

Proses pengambilan gambar pun lama. Kurasa petugasnya mengambil gambar dengan baik. Sayangnya waktu itu aku lupa mengatakan tentang rusuk kananku yang juga sakit, sehingga yang di poto hanyalah bagian paha ke bawah. Setelah selesai, brankar didorong lagi kembali ke ruang UGD. Selama perjalanan itu aku merasakan betapa saat sakit kita tidak dapat berbuat apa-apa. Entah bagaimana jadinya jika tadi tidak ada yang menolong. 

Malam itu diputuskan untuk pulang ke rumah. Kakak melobi pihak RS, dan Alhamdulillah kami diizinkan pulang. Karena tidak bisa bangun, aku diantar pulang masih pakai brankar. Untung sopir ambulans berbaik hati mau mengantar kami hingga ke rumah. Lalu brankar di dorong sampai di kamar. Kakak lalu memutuskan aku tidur di kamar Dhyba. Lagi-lagi kusadari betapa aku tidak berdaya. Selama proses dari ambulans hingga di tempat tidur, aku betul2 tidak mampu melakukan apa-apa. Semuanya dibantu oleh kakak bersama petugas dari RS.

Saat sakit, maka sebagian besar kemerdekaanmu terenggut. Kau hanya bisa berbaring dan merasakan nyeri sembari meminta orang-orang sekitarmu melakukan hal untukmu. Termasuk menggaruk bagian badan yang gatal. Yah, aku benar2 tidak mampu melakukan apa-apa. Tiga hari terbaring tanpa mampu menolong diri sendiri. Selama itu pula kakak izin dari kantornya. Benar-benar kakak menggantikan peran ibu, sosok perempuan berhati mulia yang telah lama meninggalkan kami. Untungnya kasih sayang ibu masih aku dapatkan lewat kakak. 

Dua minggu bukan waktu singkat. Dua minggu aku terbaring di kamar. Untungnya silih berganti teman-teman datang menjenguk, memberi semangat. Setelah dua minggu berlalu, aku memutuskan untuk mulai berkatifitas, beruntung seorang teman meminjamkan tongkat/ kurknya. Hari pertama aku nekat ke kantor. Seorang teman menjemput di rumah. Dan dengan kurk aku mulai keluar rumah. Ada beberapa hal yang aku selesaikan. Besoknya aku lagi-lagi masuk kerja. Namun hari kedua itu membuat aku kembali menyerah. Harus kuakui aku belum bisa apa-apa. Jika dua hari ini aku nekat masuk kerja karena memang ada hal yang harus aku selesaikan. Setelah dua hari itu, lalu kuputuskan untuk kembali istirahat. Untuk memulihkan stamina kupikir aku memang harus patuh pada aturan kakak.

Ternyata waktu yang kupikir bisa singkat untuk memulihkan stamina tidaklah secepat yang ku kira. 35 hari telah berlalu sejak aku jatuh. Pada kenyataannya aku belum bisa seperti dulu. Jalan masih pincang walaupun sekarang sudah lepas dari kurk. Belum bisa berjongkok/ melipat kaki kanan dengan sempurna. Bahkan sholat pun aku masih duduk. Satu hal lagi, aku benar2 phobia pada anjing. Jika aku melihat anjing di pinggir jalan maka seluruh tubuhku menggigil. Rasa sakit malam aku jatuh itu tiba-tiba saja melintasi kepalaku. Tidak. Aku tak mau lagi. Tuhan, tolong lindungilah.

Tuesday, November 20, 2018

NISA…


(Catatan untuk seorang sahabat)


Setelah menyeberangi titian ini, maka aku ingin kau benar-benar menyeberang. Meninggalkan semua, kesedihan, kenangan dan hal buruk lainnya, termasuk dia.
Sa, malam semakin larut ketika aku menuliskan kalimat-kalimat ini. Sepi sekali, hingga suara ketukan jariku di kibor laptop jelas kudengar. Menjadi irama yang mengiringi kisah kita yang suram. Kisah yang mengharubirukan hatiku.



Apa kabar, Sa, apa kabarmu wanita hebat-ku. Sahabat yang paling dekat, teman jalan, teman nonton, teman curhat, ya teman segala-galanya. Aku masih ingat ungkapan bahwa kita bukanlah sahabat palsu. Kita adalah sahabat yang benar2 sahabat.

Kita yang saling dukung dalam berbagai hal dan saling kritik dalam hal lain. Kita yang selalu bisa saling menerima kritikan satu sama lain.


Makanya aku heran, ketika yang terakhir ini kamu tidak bisa menerima kritikanku lagi. Tepatnya sih saranku. Kedekatanmu dengan cowok yang aku kurang suka itu membuatmu jadi lain. Kamu lebih kasar dari biasanya, lebih ringan mengeluarkan kata-kata yang tidak pernah ku dengar sebelumnya. Kamu lain, Sa. Kamu telah bertransformasi menjadi Nisa yang lain.


Mengapa kamu harus dengannya. Sedangkan ada banyak teman kita yang lain, yang lebih baik, sedang mengantri untuk mendekatimu.


Cinta katamu, Sa. Karena kamu cinta dia. Sadarlah bahwa untuk perempuan seusia kita, menilai cinta itu tidak lagi menggunakan perasaan semata. Kita harus menyertakan logika. Ini sesuai dengan tuntutan zaman lho, Sa. Apa iya ada cinta yang katanya sayang kamu jam 7, tapi jam 12 nanti dia mengantar perempuan lain. Bukan itu saja, adakah cinta yang dengan ringan tangan menjambakmu ketika dia kurang suka saat kau protes, adakah cinta yang dengan ringan melontarkan makian saat berdebat denganmu. Tidak ada, Sa. Memang benar kisah cintaku tidak sukses juga, tapi setidaknya aku bisa membedakan mana yang pantas dicintai dan mana yang pantas ditinggalkan. Kau sendiri yang mengajarkan dan mengingatkanku. Ingat kan, aku pun pernah salah memilih orang dan dengan kukuhnya kau menunjukkan padaku kesalahanku dan kemudian aku mundur, kami Putus.


Sementara kamu, mengapa tidak berani mengambil keputusan? Pernah engkau bercerita bahwa kaupun lelah dengan apa yang terjadi. Tapi kenapa kau tak pernah berani melangkah dari dirinya? Kenapa kau masih memberi maaf setelah luka yang berkali-kali dia berikan padamu. Bukalah matamu, Nisaku.


Malam semakin sepi, Sa. Dan aku merasakan relung-relung hatiku mulai diisi rindu akan tawamu. Sudah berbilang bulan kita tiada bertemu. Kesibukan menjadi alasan klise kita. Ya kamu sibuk, akupun demikian. Tapi dulu juga seperti ini, dan kita selalu bisa punya waktu untuk sekedar berbagi kisah hari itu atau mengisi hari libur dengan naik motor kemana-mana.
Kamu kian jauh, Sa. Sampai kemudian aku terpikir untuk coba lagi mengajakmu. Aku ingin mengajakmu menyeberang. Melintasi masalahmu kini. Yakinlah di depan sana ada yang lebih baik menunggumu. Sampai kapan kau bisa bersamanya, bersama dia yang sama sekali tidak mendapat restu dari keluargamu. Sadarlah, Sa

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG