Tuesday, January 13, 2009

jenG, bersamA kainnyA

Berlutut

Tangannya sibuk mengurai benang kusut di pinggiran selembar kain yang lusuh.

Terik yang melelehkan peluh, debu yang hinggap...

Tak sedikit mengganggu asyiknya.

Aku berdiri tepat di belakangnya. Mengawasi tangannya yang dengan tekun mengurai benang kusutnya.

“Jeng”, panggilku. Aku terlonjak kaget (juga) mendengar suaraku. Kepala itu berputar, menoleh ke arahku.

“Kainnya sudah lusuh, diganti saja dengan kain yang baru, nanti kita cari kain yang motifnya persis sama dengan kainmu itu.”

Kepala itu kembali berputar ke arah semula. Tunduk terpaku pada kain yang lusuh. Usulku tadi bagai angin lalu. Aku pun tak mengerti apa makna kain itu baginya. Tak lebih dari selembar kain berukuran 1 kali 1 meter. Motif burung meraknya pun telah mulai pudar. Menandakan betapa telah lamanya kain itu di gunakan.

”Untuk apa kain itu kau gantungkan di jendelamu? Kalau memang kau sayang kain itu, jaga baik-baik, simpan di lemari, jangan biarkan terkena sinar matahari supaya warnanya tidak pudar.” Suaraku lagi.

”Kain ini, aku gantungkan di jendela, agar aku tahu saat angin masih berhembus, berlalu di depan jendelaku.” Kepala itu sekarang menghadap kepadaku.

”Agar wangi kain ini terbang bersama angin. Melintasi hutan, gunung, turun ke lembah, menyusuri sungai, hingga berlabuh ke laut.” Kepala itu mendongak, tengadah menatap awan.

Ah.. dia memulai lagi, perjalanan wisata bersama imajinasinya. Aku akan ditinggalkannya beberapa saat disampingnya. Detik berikutnya Jeng (begitu aku menyapanya-aku tidak tahu siapa namanya) telah berada entah di negeri yang mana.

Matahari condong ke barat. Semburat jingga membentuk sapuan yang sangat indah. Jeng tak peduli walau dia menatap kesana. Dia masih di tempatnya tadi, tersenyum, terpejam, kadang berbisik.

Kakiku mulai pegal. Berdiri menunggui Jeng yang sedang berwisata imajinasi bukanlah pekerjaan yang mudah. Tapi anehnya, aku selalu enggan beranjak dari sisinya. Aku menyimpan seribu tanya tentang kain lusuhnya. Enam bulan bersamanya tidak juga mampu membuat aku mengerti makna kain lusuh itu.

”Adakah ia pemberian seseorang yang sangat berarti?”

Perlahan kepala itu bergerak. Menatap datar ke barisan pohon yang berada di sisi kiri kami. Tarikan nafasnya meningkahi desau angin.

Lalu matanya berpindah menatapku. Lekat memandangku, seakan mencari sesuatu disana.

”Aku tidak menemukannya di matamu. Pantaslah engkau tidak mengerti, sama dengan orang-orang yang bertemu aku sebelumnya.”

Jeng mendekap kain lusuhnya.

”Adalah rindu yang kau jaga, tak kau lepas sejenak pun. Kau hidupkan dalam dadamu agar kau selalu punya harapan. Berharap angin berhembus membawa wangi rindumu mencari sosok yang membuat engkau merindu.”

”Aku tidak mengerti, Jeng.

”Kain ini adalah hatiku. Yang pudar, yang rapuh yang hampir tak berbentuk yang sama sekali tidak menarik karena terjajah rindu.” Dia berhenti. Kembali menarik nafasnya. Sedangkan aku yang tak menyangka dia berkata demikian, menjelaskan makna kain itu, menjadi tercekat.

”Kain akan selalu ku jaga. Seperti aku menjaga agar selalu mempunyai hati, walaupun telah lusuh, agar aku selalu memiliki rindu walau telah lusuh. Lebih baik memiliki hati yang lusuh dari pada tidak punya hati sama sekali.

No comments:

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG