(Catatan untuk seorang sahabat)
Setelah
menyeberangi titian ini, maka aku ingin kau benar-benar menyeberang. Meninggalkan
semua, kesedihan, kenangan dan hal buruk lainnya, termasuk dia.
Sa, malam
semakin larut ketika aku menuliskan kalimat-kalimat ini. Sepi sekali, hingga
suara ketukan jariku di kibor laptop jelas kudengar. Menjadi irama yang
mengiringi kisah kita yang suram. Kisah yang mengharubirukan hatiku.
Apa kabar,
Sa, apa kabarmu wanita hebat-ku. Sahabat yang paling dekat, teman jalan, teman
nonton, teman curhat, ya teman segala-galanya. Aku masih ingat ungkapan bahwa
kita bukanlah sahabat palsu. Kita adalah sahabat yang benar2 sahabat.
Kita yang
saling dukung dalam berbagai hal dan saling kritik dalam hal lain. Kita yang
selalu bisa saling menerima kritikan satu sama lain.
Makanya aku
heran, ketika yang terakhir ini kamu tidak bisa menerima kritikanku lagi. Tepatnya
sih saranku. Kedekatanmu dengan cowok yang aku kurang suka itu membuatmu jadi
lain. Kamu lebih kasar dari biasanya, lebih ringan mengeluarkan kata-kata yang
tidak pernah ku dengar sebelumnya. Kamu lain, Sa. Kamu telah bertransformasi
menjadi Nisa yang lain.
Mengapa kamu
harus dengannya. Sedangkan ada banyak teman kita yang lain, yang lebih baik,
sedang mengantri untuk mendekatimu.
Cinta
katamu, Sa. Karena kamu cinta dia. Sadarlah bahwa untuk perempuan seusia kita,
menilai cinta itu tidak lagi menggunakan perasaan semata. Kita harus
menyertakan logika. Ini sesuai dengan tuntutan zaman lho, Sa. Apa iya ada cinta
yang katanya sayang kamu jam 7, tapi jam 12 nanti dia mengantar perempuan lain.
Bukan itu saja, adakah cinta yang dengan ringan tangan menjambakmu ketika dia
kurang suka saat kau protes, adakah cinta yang dengan ringan melontarkan makian
saat berdebat denganmu. Tidak ada, Sa. Memang benar kisah cintaku tidak sukses
juga, tapi setidaknya aku bisa membedakan mana yang pantas dicintai dan mana
yang pantas ditinggalkan. Kau sendiri yang mengajarkan dan mengingatkanku. Ingat
kan, aku pun pernah salah memilih orang dan dengan kukuhnya kau menunjukkan
padaku kesalahanku dan kemudian aku mundur, kami Putus.
Sementara kamu,
mengapa tidak berani mengambil keputusan? Pernah engkau bercerita bahwa kaupun
lelah dengan apa yang terjadi. Tapi kenapa kau tak pernah berani melangkah dari
dirinya? Kenapa kau masih memberi maaf setelah luka yang berkali-kali dia berikan
padamu. Bukalah matamu, Nisaku.
Malam semakin
sepi, Sa. Dan aku merasakan relung-relung hatiku mulai diisi rindu akan tawamu.
Sudah berbilang bulan kita tiada bertemu. Kesibukan menjadi alasan klise kita. Ya
kamu sibuk, akupun demikian. Tapi dulu juga seperti ini, dan kita selalu bisa
punya waktu untuk sekedar berbagi kisah hari itu atau mengisi hari libur dengan
naik motor kemana-mana.
Kamu kian
jauh, Sa. Sampai kemudian aku terpikir untuk coba lagi mengajakmu. Aku ingin
mengajakmu menyeberang. Melintasi masalahmu kini. Yakinlah di depan sana ada
yang lebih baik menunggumu. Sampai kapan kau bisa bersamanya, bersama dia yang
sama sekali tidak mendapat restu dari keluargamu. Sadarlah, Sa
1 comment:
Helloo mate nice post
Post a Comment