Malam baru saja
turun ketika Ve memintaku menemuinya di kamarnya. Dia meminta aku membantu
merapikan kamarnya yang sebenarnya selalu rapi. Tapi tepatnya malam ini dia
memintaku membantunya merapikan barang-barangnya. Ve akan pergi.
“Bukankah lebih
baik di sini?” Kucoba
memecah sunyi yang melingkupi kami.
“Disini kamu
mendapatkan semuanya, teman, sahabat, keluarga, pekerjaan. Untuk apa lagi kamu
pergi?” Lanjutku.
”Disini juga aku
mendapatkan pengkhianatan, Sya.” Suara Ve lirih. Lalu terbayang kejadian
sebulan lalu saat kami mendapati Aryo memeluk mesra Fani, di pantai.
*******
Sore itu, kami
habis berbelanja di mini market. Lalu kami sepakat untuk mengantar matahari ke
peraduannya sebelum kami pulang ke kost. Ve kemudian menghubungi Aryo untuk
gabung bersama kami yang dijawab Aryo tidak sempat gabung karena lagi meeting.
Kami lalu memutuskan
menikmati sore itu berdua. Setelah membeli camilan pada pedagang asongan kami berjalan
ke bibir pantai dimana ada banyak orang duduk menghadap ke laut. Kami melewati
beberapa pasangan yang tak mau melewatkan moment tenggelamnya matahari di laut
lepas. Siapa sangka salah satu pasangan itu adalah Aryo. Yang membuat kaget,
Aryo memeluk Fani yang tak lain adalah sahabat kami juga. Teman satu kost,
teman jalan, teman curhat, teman kongkow-kongkow.
Masih jelas di
mataku, betapa hebat kejut di mata Aryo ketika aku dan Ve berdiri mematung di
depannya, dengan tatapan seribu tanya. Terlebih Fani, yang sebelumnya bergayut
manja di lengan Aryo. Seketika mereka saling melepas dan berdiri kaku di depan
kami.
”Ve?, Meisya?”
Suara Aryo tercekat.
Aku masih berdiri
mematung ketika Ve berlari menjauh.
”Aryo, Fani,
kalian...?” suaraku tertahan, ragu. Lalu aku berbalik arah mengejar Ve.
”Ve, tunggu! ”Meisya,
tunggu!” kejar Aryo.
Nafasku
tersengal-sengal mengejar Ve yang larinya sangat kencang. Lalu kutangkap tubuh
sahabatku itu, memeluknya erat.
”Ve, tenang! Kita belum
dengar apa penjelasan Aryo. Jangan langsung kabur begini.” Kubelai punggung Ve.
Badannya terguncang. Aku tahu dia sedang menahan amarah dan sedih.
Tepat saat itu,
Aryo berhasil menyusul kami. Sementara di kejauhan aku lihat Fani masih berdiri
bengong.
”Ve, dengarkan
dulu!” Aryo meraih tangan Ve yang langsung dikibaskan oleh Ve.
”Jadi meeting kamu
itu dengan Fani, yah. Sejak kapan sih kalian sama-sama. Kenapa tidak jujur aja
dari awal?” Berondong Ve.
”Aku dan Fani,
kami tidak ada apa-apa. Kami teman saja, layaknya aku dengan Meisya. Selama ini
...”
”Oh yah, sejak
kapan teman boleh saling peluk, trus sama pacar sendiri mengaku meeting,”
potong Ve.
”Aryo, kamu itu
buaya, tau nggak. Aku tidak menyangka kamu seperti itu. Yang bikin sakit itu
Aryo jalan sama sahabat Ve sendiri. Kalian keterlaluan.” Tangis Ve pecah.
”Ve, maafkan aku.
Aku...! Aryo menjatuhkan dirinya ke pasir.
”Sudahlah, Ar,
cukup!” Tegas suara Ve.
”Ini yang ketiga
kali aku mendapati kamu bersama Fani. Tapi selama ini aku mencoba percaya bahwa
kalian hanya berteman,” lanjutnya, kali ini dengan suara lebih pelan.
Sepertinya Ve telah mampu menguasai diri.
”Sya, kita pulang!”
Ve menggamit lenganku lalu melangkah. Aku berjalan mengikutinya sambil sesekali
berbalik melihat Aryo yang masih bersimpuh di pasir.
*****
”Kamu mau
menghindari Aryo, yah? Kalau cuma itu, kamu tidak perlu pergi, Ve. Putuskan
saja dan jangan mau komunikasi lagi!”
Ve menggeleng. Air
matanya meleleh di pipinya yang kelihatan semakin tirus.
”Sya, kamu masih
ingat ini?” Ve menyodorkan selembar undangan pernikahan.
”Contoh desain
undangan kalian,” jawabku.
”Dan yang ini?” Ve
menunjukkan jari manisnya yang dilingkari cincin pemberian Aryo beberapa waktu
lalu.
Ve lalu melepas
cincin itu.
”Semua berakhir,
Sya. Cincin ini harus aku kembalikan. Dan desain undangan ini, lupakan saja.”
Air mata Ve makin deras. Aku sodorkan kotak tisyu ke arahnya.
”Hmmm, apa kamu
tidak bisa memaafkan Aryo? Namanya manusia biasa, siapapun bisa khilaf. Ingat,
Ve, kalian sudah lama mempersiapkan hari pernikahan kalian.” ucapku sambil
menggenggam tangan Ve, mencoba meyakinkannya.
Ve melepas
tangannya. Dia lalu berjalan mengambil sesuatu di tasnya.
”Awalnya aku
memaafkan Aryo, Sya. Kamu kan tahu aku sayang Aryo. Tapi sekarang tidak lagi. Lihat
ini!” Ve menyodorkan sebuah amplop padaku.
”Ini apa?” ku
goyang-goyangkan amplop itu.
”Bukalah dulu!”
pinta Ve sambil tak henti mengusap air matanya.
Perlahan aku
membuka amplop itu dan makin tak mengerti. Tapi isinya cukup untuk membuat
mataku terbelalak. Alat tes kehamilan dengan dua garis merah.
”Ve, kamu?”
seketika aku gemetar. Tanganku perlahan terasa dingin.
”Mana mungkin Ve. Ini
punya kamu? Sejak kapan?”
Air mata Ve kian
deras. Dia mendekap dadanya sendiri pertanda jiwanya terguncang hebat. Aku membiarkannya
menikmati tangisnya yang makin menjadi-jadi di depanku. Untungnya kost sedang
sunyi.
”Tadi pagi Fani
memberikan itu padaku. Katanya itu hasil perbuatannya dengan Aryo. Lalu Aryo
membenarkannya.” Ve kian terisak.
Kuraih tubuh
sahabatku itu. Kubenamkan dia dalam pelukanku. Akupun mulai menangis.
”Aku telah
memilih, Sya!” suara Ve setelah kami sama-sama tergugu.
”Aku harus pergi. Aku
tidak yakin mampu melihat mereka setiap hari. Di sini sakit!” Ve menekan
dadanya.
”Tapi kamu masih
bisa merubah pilihanmu. Tidak ada yang memaksa kamu mengambil pilihan itu kan?”
kejarku dengan harapan Ve bisa berubah pikiran.
Ve berjalan ke
jendela yang dibiarkannya terbuka sejak tadi. Ada bulan pucat di sana yang
mengawasi kami.
Dalam remang,
samar kulihat dia menggelengkan kepala.
Aku menghela nafas
panjang, sembari menatap bulan pucat itu seksama. Mungkin ada untaian kalimat di sisi bulan yang
bisa kubaca, kemudian kusampaikan pada Ve hingga dia mau memikirkan lagi rencananya.
Semakin sunyi. Ve telah beranjak ke
kasur, merebahkan diri. Katanya hendak mencoba tidur agar besok bisa bangun
pagi-pagi.
Aku terpaku di
sofa. Memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi besok. Ve pergi. Ve
sedih. Aku sedih. Ah, kalau Ve pergi, pasti akan terasa sunyi. Tanpa sadar aku
menitikkan air mata. Tidak, Ve tidak boleh pergi.
*******
Kamar itu
kosong. Entah jam berapa Ve pergi. Dia tidak pamit lagi padaku. Kurasakan
dadaku hampa. Tangis yang semalam sudah merembesi mataku kini mulai lagi. Kutarik
nafas sekuatnya, kemudian ku hembuskan bersama teriakan yang cukup untuk
membangunkan penghuni kost-kostan itu.
“Veeeeeeeeee....................”
jeritku. Kemudian aku terjatuh di ambang kamarnya. Pandanganku
kabur.
Sumber Poto : https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Ffahryalamsyah.files.wordpress.com%2F2016%2F05%2Fsungai-bulan.jpg%3Fw%3D800%26h%3D312%26crop%3D1&imgrefurl=https%3A%2F%2Ffahryalamsyah.wordpress.com%2F2016%2F05%2F12%2Fkesaksian-dibawah-rembulan-redup%2F&docid=-utjP_R38jaelM&tbnid=ScW5wHZhxjNBVM%3A&vet=10ahUKEwjHgYDnhJ7jAhUb73MBHfjYDAQQMwh6KCwwLA..i&w=800&h=312&safe=strict&bih=607&biw=1280&q=rembulan%20pucat&ved=0ahUKEwjHgYDnhJ7jAhUb73MBHfjYDAQQMwh6KCwwLA&iact=mrc&uact=8
No comments:
Post a Comment