Friday, July 05, 2019

Rembulan Pucat



Malam baru saja turun ketika Ve memintaku menemuinya di kamarnya. Dia meminta aku membantu merapikan kamarnya yang sebenarnya selalu rapi. Tapi tepatnya malam ini dia memintaku membantunya merapikan barang-barangnya. Ve akan pergi.

“Bukankah lebih baik di sini?” Kucoba memecah sunyi yang melingkupi kami.
“Disini kamu mendapatkan semuanya, teman, sahabat, keluarga, pekerjaan. Untuk apa lagi kamu pergi?” Lanjutku.

”Disini juga aku mendapatkan pengkhianatan, Sya.” Suara Ve lirih. Lalu terbayang kejadian sebulan lalu saat kami mendapati Aryo memeluk mesra Fani, di pantai.

*******

Sore itu, kami habis berbelanja di mini market. Lalu kami sepakat untuk mengantar matahari ke peraduannya sebelum kami pulang ke kost. Ve kemudian menghubungi Aryo untuk gabung bersama kami yang dijawab Aryo tidak sempat gabung karena lagi meeting.

Kami lalu memutuskan menikmati sore itu berdua. Setelah membeli camilan pada pedagang asongan kami berjalan ke bibir pantai dimana ada banyak orang duduk menghadap ke laut. Kami melewati beberapa pasangan yang tak mau melewatkan moment tenggelamnya matahari di laut lepas. Siapa sangka salah satu pasangan itu adalah Aryo. Yang membuat kaget, Aryo memeluk Fani yang tak lain adalah sahabat kami juga. Teman satu kost, teman jalan, teman curhat, teman kongkow-kongkow.

Masih jelas di mataku, betapa hebat kejut di mata Aryo ketika aku dan Ve berdiri mematung di depannya, dengan tatapan seribu tanya. Terlebih Fani, yang sebelumnya bergayut manja di lengan Aryo. Seketika mereka saling melepas dan berdiri kaku di depan kami.

”Ve?, Meisya?” Suara Aryo tercekat.
Aku masih berdiri mematung ketika Ve berlari menjauh.
”Aryo, Fani, kalian...?” suaraku tertahan, ragu. Lalu aku berbalik arah mengejar Ve.
”Ve, tunggu! ”Meisya, tunggu!” kejar Aryo.
Nafasku tersengal-sengal mengejar Ve yang larinya sangat kencang. Lalu kutangkap tubuh sahabatku itu, memeluknya erat.

”Ve, tenang! Kita belum dengar apa penjelasan Aryo. Jangan langsung kabur begini.” Kubelai punggung Ve. Badannya terguncang. Aku tahu dia sedang menahan amarah dan sedih.

Tepat saat itu, Aryo berhasil menyusul kami. Sementara di kejauhan aku lihat Fani masih berdiri bengong.

”Ve, dengarkan dulu!” Aryo meraih tangan Ve yang langsung dikibaskan oleh Ve.
”Jadi meeting kamu itu dengan Fani, yah. Sejak kapan sih kalian sama-sama. Kenapa tidak jujur aja dari awal?” Berondong Ve.

”Aku dan Fani, kami tidak ada apa-apa. Kami teman saja, layaknya aku dengan Meisya. Selama ini ...”
”Oh yah, sejak kapan teman boleh saling peluk, trus sama pacar sendiri mengaku meeting,” potong Ve.
”Aryo, kamu itu buaya, tau nggak. Aku tidak menyangka kamu seperti itu. Yang bikin sakit itu Aryo jalan sama sahabat Ve sendiri. Kalian keterlaluan.” Tangis Ve pecah.

”Ve, maafkan aku. Aku...! Aryo menjatuhkan dirinya ke pasir.
”Sudahlah, Ar, cukup!” Tegas suara Ve.
”Ini yang ketiga kali aku mendapati kamu bersama Fani. Tapi selama ini aku mencoba percaya bahwa kalian hanya berteman,” lanjutnya, kali ini dengan suara lebih pelan. Sepertinya Ve telah mampu menguasai diri.

”Sya, kita pulang!” Ve menggamit lenganku lalu melangkah. Aku berjalan mengikutinya sambil sesekali berbalik melihat Aryo yang masih bersimpuh di pasir.

*****

”Kamu mau menghindari Aryo, yah? Kalau cuma itu, kamu tidak perlu pergi, Ve. Putuskan saja dan jangan mau komunikasi lagi!”

Ve menggeleng. Air matanya meleleh di pipinya yang kelihatan semakin tirus.
”Sya, kamu masih ingat ini?” Ve menyodorkan selembar undangan pernikahan.
”Contoh desain undangan kalian,” jawabku.
”Dan yang ini?” Ve menunjukkan jari manisnya yang dilingkari cincin pemberian Aryo beberapa waktu lalu.

Ve lalu melepas cincin itu.
”Semua berakhir, Sya. Cincin ini harus aku kembalikan. Dan desain undangan ini, lupakan saja.” Air mata Ve makin deras. Aku sodorkan kotak tisyu ke arahnya.

”Hmmm, apa kamu tidak bisa memaafkan Aryo? Namanya manusia biasa, siapapun bisa khilaf. Ingat, Ve, kalian sudah lama mempersiapkan hari pernikahan kalian.” ucapku sambil menggenggam tangan Ve, mencoba meyakinkannya.

Ve melepas tangannya. Dia lalu berjalan mengambil sesuatu di tasnya.
”Awalnya aku memaafkan Aryo, Sya. Kamu kan tahu aku sayang Aryo. Tapi sekarang tidak lagi. Lihat ini!” Ve menyodorkan sebuah amplop padaku.

”Ini apa?” ku goyang-goyangkan amplop itu.
”Bukalah dulu!” pinta Ve sambil tak henti mengusap air matanya.

Perlahan aku membuka amplop itu dan makin tak mengerti. Tapi isinya cukup untuk membuat mataku terbelalak. Alat tes kehamilan dengan dua garis merah.

”Ve, kamu?” seketika aku gemetar. Tanganku perlahan terasa dingin.
”Mana mungkin Ve. Ini punya kamu? Sejak kapan?”

Air mata Ve kian deras. Dia mendekap dadanya sendiri pertanda jiwanya terguncang hebat. Aku membiarkannya menikmati tangisnya yang makin menjadi-jadi di depanku. Untungnya kost sedang sunyi.

”Tadi pagi Fani memberikan itu padaku. Katanya itu hasil perbuatannya dengan Aryo. Lalu Aryo membenarkannya.” Ve kian terisak.

Kuraih tubuh sahabatku itu. Kubenamkan dia dalam pelukanku. Akupun mulai menangis.

”Aku telah memilih, Sya!” suara Ve setelah kami sama-sama tergugu.
”Aku harus pergi. Aku tidak yakin mampu melihat mereka setiap hari. Di sini sakit!” Ve menekan dadanya.

”Tapi kamu masih bisa merubah pilihanmu. Tidak ada yang memaksa kamu mengambil pilihan itu kan?” kejarku dengan harapan Ve bisa berubah pikiran.

Ve berjalan ke jendela yang dibiarkannya terbuka sejak tadi. Ada bulan pucat di sana yang mengawasi kami.
Dalam remang, samar kulihat dia menggelengkan kepala.

Aku menghela nafas panjang, sembari menatap bulan pucat itu seksama.  Mungkin ada untaian kalimat di sisi bulan yang bisa kubaca, kemudian kusampaikan pada Ve hingga dia mau memikirkan lagi rencananya.

Semakin sunyi. Ve telah beranjak ke kasur, merebahkan diri. Katanya hendak mencoba tidur agar besok bisa bangun pagi-pagi.

Aku terpaku di sofa. Memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi besok. Ve pergi. Ve sedih. Aku sedih. Ah, kalau Ve pergi, pasti akan terasa sunyi. Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Tidak, Ve tidak boleh pergi.

*******

Kamar itu kosong. Entah jam berapa Ve pergi. Dia tidak pamit lagi padaku. Kurasakan dadaku hampa. Tangis yang semalam sudah merembesi mataku kini mulai lagi. Kutarik nafas sekuatnya, kemudian ku hembuskan bersama teriakan yang cukup untuk membangunkan penghuni kost-kostan itu.
“Veeeeeeeeee....................” jeritku. Kemudian aku terjatuh di ambang kamarnya. Pandanganku kabur. 

Sumber Poto : https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Ffahryalamsyah.files.wordpress.com%2F2016%2F05%2Fsungai-bulan.jpg%3Fw%3D800%26h%3D312%26crop%3D1&imgrefurl=https%3A%2F%2Ffahryalamsyah.wordpress.com%2F2016%2F05%2F12%2Fkesaksian-dibawah-rembulan-redup%2F&docid=-utjP_R38jaelM&tbnid=ScW5wHZhxjNBVM%3A&vet=10ahUKEwjHgYDnhJ7jAhUb73MBHfjYDAQQMwh6KCwwLA..i&w=800&h=312&safe=strict&bih=607&biw=1280&q=rembulan%20pucat&ved=0ahUKEwjHgYDnhJ7jAhUb73MBHfjYDAQQMwh6KCwwLA&iact=mrc&uact=8

No comments:

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG