Tuesday, July 02, 2019

DI ANTARA PADI MENGUNING


“Huwa Lele (huwa lele)
  Lele-lele ko ria (pergilah kau jauh)
  Riasena Tauwe (pada padi orang lain)
  Accekengi Buana (bertenggerlah pada buahnya_
  Anremoi Daunna (kau boleh makan daunnya)
  Inummoi Waena (kau boleh meminum arinya)
  Huwa Lele “ (huwa lele)

              Seketika telingaku tegak. Jadi lagu itu masih dinyanyikan untuk menghalau burung pipit? Aku bangkit perlahan sambil terus mendengar  lagu yang didendangkan berkali-kali. Dari jendela tampak sebuah dangau di tengah sawah, di antara permadani kuning. Beberapa kelompok burung pipit terbang membelah pagi yang masih dingin ketika orang-orangan yang di pasang di sudut-sudut sawah bergerak. Pasti orang yang di dangau menarik tali penggeraknya, seiring dengan lagu huwalele.

              Matahari belumlah tinggi, embun di dedaunan,di rerumputan berkilau di timpa cahaya. Kuhirup udara lalu kuhembuskan perlahan. Gambaran masa kecilku terang kembali. Saat aku sering ikut ke sawah bersama kakek menghalau burung-burung pipit. Aku duduk di dangau sambil menarik-narik tali penggerak orang-orangan sawah. Sedangkan kakek menyanyikan lagu itu  berkali-kali hingga aku aku pun dapat menghafalnya. Rasanya aku aku ingin kesawah lagi ikut menghalau burung-burung itu, toh lagunya masih ku hafal.

              Hmm teringat Adam, apakah dia masih disini juga ? Seperti apakah dia sekarang ?. Setelah berpisah begitu lama ?. Adam sahabat kecilku, anak mantri kesehatan langganan kakek. Dulu kami sama-sama kesawah menghalau burung-burung atau ke kali memancing bahkan mandi bersama kawan-kawan yang lain. Ada Ali ,Anton dan Iwan serta Reni. Kemanakah mereka ? , sudah pindah atau tetap di desa ini?

              “Luna!” Suara di ambang pintu membuatku menoleh, ada nenek berdiri sambil memegang gagang pintu.
“Bagaimana tidurnya nyenyak? “
“Lumayan, nek. Sampai-sampai Luna tidak mendengar adzan subuh, mungkin waktu itu Luna masih meringkuk , dingin sekali “.
‘’Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu!.”
“Tapi Luna masih kedinginan, Nek.’’
“Setelah mandi, kamu tidak merasa dingin lagi. Mandi di pagi hari justru untuk mengusir hawa dingin. Ayo!” Nenek berlalu tanpa merapatkan pintu kamar.

              Jendela kamar kubuka lebar-lebar, angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi menerpa hidungku. Ah aromanya sangat kusuka. Aroma bulir padi yang hampir matang, bukankah waktu kecilku aku juga suka aroma ini?

              “Nek, Luna mandi di sungai yah?”
“Loh air pancuran sudah sampai di kamar mandi, kenapa jauh-jauh ?”.
Siapa tahu Luna bertemu dengan teman-teman yang dulu, nek “. Luna mau lihat pakah mereka masih ingat Luna atau sudah lupa. Waktunya kan sudah lama ?’’.
“Kamu sendiri masih ingat mereka ? “.
“Iya, Nek . Apapun yang di desa in tak mungkin Luna lupakan, semuanya berkesan. Berangkat dulu”.
              Aku berlari-lari kecil menuruni jalanan setapak. Masih terdengar suara Nenek berpesan agar aku hati-hati.
“Iya,” jawabku sambil terus berlari. Reimbunan daun masih basah, beberapa ekor burung bernyanyi riang terbang dari dahan ke dahan. Seperti mengucapkan selamat datang padaku.
*******
Seperti juga dulu, banyak orang yang mencuci pakaian di sungai. Tapi mana Reni? Aku tidak menemukan wajah di antara gadis-gadis yang berjejeran di batu-batu besar dan lapang. Seperti orang linglung, kuteliti wajah mereka satu-persatu. Beruntung mereka mau tersenyum dan mengajakku bergabung.
              “Orang baru yahh?” seseorang menypaku sambil tersenyum
“Iya, tapi orang lama. Maksudnya orang lama yang baru datang lagi” jawabku sambil tersenyum.
“Namaku Lela,”serunya sambil mengulurkan tangan.
Kusambut uluran tanganya, ”aku, Luna” jawabku masih dengan senyuman. Lalu satu persatu mereka menyebut namanya. Kami cepat akrab, toh dari dulu pendudk desa ini terkenal ramah.
              “ Kalian kenal Reni nggak?”.
“Adik Iwan ?”.
 “Iya, anak pak Hasan “ jawabku.
 “Itu sih tetangga Sari, ya kan Sari ?”.
“Benar tapi akhir-akhir ini kami jarang bertemu.
“Oh. Kenapa?
              “Reni sebentar lagi menikah. Jadi ndak boleh keluar rumah, itu sudah jadi peraturan di sini“
“Reni mau menikah, kapan? “
“Minggu depan, kamu kesana juga kan?”
“InsyaAllah deh, mudah-mudahan nenek sama kakek di undang. Jadi aku bisa ikut “.
“Pasti Luna, orang sedesa di undang semua “.
              “Apakah kamu cucu pak Karyo? “.
“Benar. Koq Lela tahu ?”
“Aku ingat Reni sering bercerita tentang temannya yang di tinggal kota. Temannya itu ya kamu.” Sesaat Lela terdiam.
“Ternyata Reni benar. “
“Tentang  apa?” tanyaku sambil berusaha menaiki sebuah batu.
“Kamu orangnya baik, ramah. Sebenarnya dulu kita juga diajak Reni bermain sama kamu. Tapi kita malu. begitu kita mau, kamu malah sudah pergi.”
              “ Ah.... sudahlah, sekarang kan kita sudah main sama-sama . Ayo berenang!”
Kemudian kami sama-sama berenang, menyelam sepuasnya.
              Pohon jambu air di halaman samping sudah tinggi dan lebat. Balai-balai yang ada di bawahnya masih juga di situ, bahkan sudah di perbaiki kakek. Disini dulu kami juga sering menghabiskan waktu.
              “Memang dia di sini, jenuh katanya di kota sekalian dia jenguk kakek dan nenek.”
Aku bersandar pada pohon jambu sambil memejamkan mata. Suara Nenek ? Dia bicara dengan siapa yahh?.
“Luna...”
“Ya, Nek, segera aku beranjak masuk rumah . Coba lihat siapa yang datang.
              Kuteliti orang yang duduk di dekat meja. “Loh ini kan apa kabar, Ren?”
Baik. Kamu sendiri bagaimana?
Lalu kami sama-sama berpelukan melepaskan kerinduan. Ya cukup lama. Lima tahun baru bisa bersua kembali. Sisa waktu kami ngobrol, bernostalgia tentang masa kecil kami.
              “Baiklah, Lun. Aku pamit dulu. Jangan lupa kamu harus datang !.
”Beres, Ren calonmu gagah nggak ?”
“Ah lihat saja nanti “.
Kuantar dia sampai di pintu pagar.
********
              Matahari pun mengintip di balik dedaunan, semilir angin berhembus pelan membuat aku betah memandangi hamparan padi yang menguning. Saat-saat seperti ini aku kembali ingat Adam, Ali, Anton,Iwan dan Reni.
              “Sore ini , aku merasa sangat rindu pada Adam, Ali, Iwan, dan Reni. Telah bertemu denganku, bahkan tadi siang kami memancing bersama di kali. Seandainya kami hadir semua, pasti lebih seru lagi . Tapi kemana Adam? Kemana Ali?.
              Aku rindu pada candaan mereka, rindu pada tiupan suling Ali, rindu pada tingkah Adam yang kocak, aku ingin bertemu mereka di sini, di desa yang teduh dan juga damai. Aku ingin menyusuri pematang , duduk di dangau, mandi di sungai , memancing di kali. Masuk hutan sambil memungut buah-buahan yang berserakan di antara dedaunan kering, menikmati nyanyian burung yang merdu.
              Jalanan masih basah bekas hujan semalam, bahkan pada bagian yang rusak ada air yang tegenang . Sepatu putih yang kupakai sedikit kotor terkena sedikit percikan air. Namun aku tetap berlari sambil menghirup udara pagi.
              “ Beberapa penduduk yang telah kenal padaku menyapa ramah, pagi-pagi begini pasti mereka hendak ke sawah menjaga padi-padi dari incaran burung-burung.
              “Hai kamu,,,,,,”
Aku menoleh, seorang menjajariku . Tubuh atletisnya menandakan bahwa olahraga adalah salah satu aktivitasnya. “Siapa ya..? Kuamati wajahnya.
              “ Oke  kita berhenti dulu, kenalan dulu.“ Aku berhenti di sisinya.  Ah,,, dia seperti......
“Padi mulai menguning yah?  Ingat nggak lagu Huwalele yang sering di nyanyikan?
“Adam?”
Cowok yang di depanku itu terkekeh. Ya benar, dia Adam sahabat kecilku.
              “Luna, belum tua kau sudah rabun.”
Sory, Dam. bukannya rabun , tapi hampir pangling... Habis kamu berubah, nggak seperti dulu..”
               “ Ya,,, jelas dong. Kan kita sudah dewasa. Bukan besar lagi, jadi nggak perlu heran kalau aku tampak gagah, bukan begitu?
              “ Hmm,” seruku pendek sambil membenarkan perkataannya dalam hati.
              Memang dia kelihatan gagah, alisnya yang tebal menaungi mata elangnya itu bagian yang sangat ku kagumi di wajahnya. Lalu hidung dan bibirnya tidak jelek amat. Pokoknya serasi hingga wajah itu terlihat  menarik.
              “ Hei, jangan melihatku seperti itu dong ! apakah ada yang aneh di wajahku?.”
“ Ah nggak. Biasa-biasa saja . Tapi bener Dam, Kamu memang gagah, apalagi bodimu bagus. Banyak yang naksir yah?”. Adam tertawa terbahak-bahak , deretan giginya tampak rapih.
              “Bisa saja kamu, Lun. Tapi kamu juga cantik, sungguh. Kamu berubah hingga aku juga hampir tidak mengenalimu. Untung kakekmu bilang kamu memakai kaos kuning dan melilitkan handuk di lengan kanan. Dengan petunjuk aku berani menegur kamu tadi.
              “Kamu dari rumah?“
“Iya. Tadinya aku mau mengajakmu lari bersama, tapi kamu sudah pergi jadi kususl saja.
Kami berhenti, Dengan nafas sedikit memburu aku melap butiran-butiran keringat yang mulai bercucuran.
              “Sudah punya pacar, Lun? “ Suara Adam membuatku mendadak menatap heran padanya.
“ Kamu sendri gimana?”
“ Ya... belum”
“Kok orang gagah gitu nggak punya pacar?”
“Bukan jaminan Lun, ada sih yang pdkt tapi rasanya gak sreg aja.
              “Ah jangan sombong. Bilang aja belum laku, buktinya belum punya,” sergapku sambil terkekeh.
“Kamu sama saja, kan?” Burunya.
Serta-merta aku menyetop langkah, siapa bilang?“
“Kamu nggak menjawabnya, berarti...”
              “Ah sudah! Kenapa pula pagi-pagi ngomingin pacar. Yang lain dong, Cerita tentang keluargamu misalnya, orangtuamu apa kabar, sehat semua kan? Sekarang tugas di mana sih? Hey, kenapa tertawa?
“Kamu masih seperti dulu, suka mengelak kalau mersa tersudut, iya kan?Adam berlari dengan tawanya sebelum kepalanku mendarat di pundaknya.
“Awas loh!’ ancamku dari belakang sambil berusaha menjajarinya.
              Akhirya Ali muncul juga , di pesta perkawinan Reni. Kami lima sekawan bertemu. Segala irama semasa kecil kembali berputar.
              Malam mulai diam. Rumah Reni sudah tenang , tamu-tamu sudah pamit sekitar setengah jam tadi. Reni dan suaminya pamit pula hendak istirahat.
              ‘ Sebaiknya aku pulang juga, Wan.“ Aku beranjak menjabat tangan Iwan, Ali, Anton dan Adam.
“ Lho kita masih mau ngobrol.” Ali protes.
“ Udah larut, Li. Besok aja!
“Aku yang ngantar yah! Adam berdiri dari duduknya yang setengah rebah. Ali, Anton dan Iwan mengantarku keluar. Kemudian mobil Adam melaju dengan pelan membela dinginya malam.
              “Loh, kok berhenti. Ada yang rusak,Dam?Kutatap Adam yang terdiam.
Hey ,ada apa ?“ Kugoyangkan bahunya.
              “Coba diam dulu, Lun! “
Dengan perasaan heran aku terdiam sambil menatap Adam .
              “ Kamu dengar suara jangkrik tadi?
“ Iya, seruku singkat.
“Itu punya makna bagiku, nyanyian jangkrik ini selalu mengingatkanku pada desa ini. Pada kamu, Reni, Ali, Anton dan Iwan. Selalu mengingatkan aku pada cita-cita masa kecilku.”
              “Cita-cita masa kecil, Apa itu? “
“Bersamamu!”
“Sekarangkan kita bersama.
“Betul Lun, tapi maksudku, bersama, dalam arti yang sesungguhnya. Jujur saja Lun, aku menyukaimu sejak kita masih kecil. Dan setelah sekian tahun kita tidak berkomunikasi ternyata perasaan itu masih sama. Kurasa sekarang saat yang tepat untuk berterus terang, karena kita sudah sama-sama dewasa.” Sunyi. Suara jangkrik meningkahi.
              Seperti aku, Adam terdiam setelah ucapannya tadi. Adam menyukaiku? Kenapa? karena kami telah bersama sejak dulu. Tapi aku merasa tidak mencintainya, aku hanya sering merasa rindu padanya, atau perasaan rindu berarti cinta, Tapi aku juga pernah rindu pada Ali, Anton dan Iwan, Ah,,,, Aku bingung.
              Kamu tidak pernah menyangka, yah?” Adam kembali memecah kesunyian.
“Coba ingat masa kecil kita yang indah, Lun! Saat kita bernyanyi Huwalele, memancing, berenang di sungai atau masuk hutan. Ingat dengan jelas! Saat itu aku sangat dekat denganmu, takut terjadi apa-apa padamu. Waktu itu aku belum tau makna perasaanku padaku, Kita masih kecil, Lun.Perasaan kita masih murni.
              Sampai kemudian kamu pindah ke kota, kita mulai besar saat itu, Aku sudah di SMP. Aku merasa kehilangan,Lun, tapi tidak tahu bagaimana cara menghubungimu. Namun aku berharap suatu hari kamu kembali ke desa ini, atau berlibur beberapa hari. Tapi kamu nggak pernah muncul, kamu seperti lupa pada guratan-guratan indah masa kecil.
              Perasaanku makin kuat padamu, kemudian papa pindah tugas, kami sekeluarga meninggalkan desa ini. Saat itu persaanku sangat berat melangkah, aku ingat kamu, Lun, Kalau aku pergi dari sini, di mana lagi kita bisa bertemu?
              Sepi lagi. Aku tidak tahu bagaimana menanggapi kejujuran Adam.
              “Baiklah, Dam. Sekarang antarkan aku dulu! Malam sudah larut.”
“Luna aku,,,,,,”
“Aku sudah tahu baru saja kamu selesai ngomong kan? Besok saja kita lanjutkan, kita pulang sekarang. Nanti nenek cemas menungguku.Adam menjalankan mobil dengan pelan menembus pekat malam yang dingin.

*********
Kata-kata Adam kembali terngiang-ngiang. Entahlah aku harus menjawab apa, aku tak tahu apakah aku mencintainya juga atau tidak. Selama kami berpisah, aku memang sering merindukannya. Tapi aku merindukan Adam yang dulu, Adam kecil yang selalu menemani Luna kecil.
              Sekarang Adam kecil dan Luna kecil tidak ada lagi, justru muncul sosok Adam yang sebenarnya Adam yang telah punya perasaan, Adam yang telah berani menunjukkan perasaannya. Sedangkan aku? Luna kecilpun telah berubah, tapi mengapa aku tak merasakan perasaan yang sama dengan Adam?
              Seketika itu aku tersentak,sebuah motor berhenti didepan rumah. Ali? ada apa yah?.
              “Lun, kamu mau kerja apa?”
“Kayaknya nggak ada, masuk dulu, Li.. “
Ali duduk di teras.
Aku Cuma mau jemput kamu. Hari ini ayah memanen padi kami. Kita turun ke sawah juga yuk ! Banyak makanan, kamu masih ingatkan dangau kecil itu, yah selalu penuh makanan. Sekarang dangaunya sudah diperbesar, makanannya juga tambah banyak..”
              Yang lain?”.
“Aku sudah hubungi sama mereka, terakhir aku kesini sekalian jemput kamu”.
“Aku pamit sama nenek dulu!”
              Ali memarkir motornya di tempat yang teduh di bawah pohon asam. Tanpa menunggunya aku meniti pematang menuju ke dangau. Tapi kok sepi? Sesaat aku berhenti dan memandang sekeliling, mana orang-orang yang akan membantu memanen padi itu? Biasanya kalau ada penduduk yang hendak panen maka penduduk yng lainnya turun tangan membantu.
              “ Li,, kok sepi ?”.
“Ada kok orang di dangau. Ayo jalan, panas disini!”
“Hmm jangan-jangan kamu ngerjain aku.”
Ali berlalu acuh, mendahului aku yang masih berdiri di pematang.
              “Oeee, Luna!” Panggilan itu terdengar dari arah dangau, beberapa tangan melambai. Benar saja, ada Iwan, Anton dan Reni di sana. Aku segera mendekat.
“Kalian disini rupanya, kupikit tadi Ali mengerjaiku.”
Reni dengan cekatan menyiapkan makanan kami. Rupanya mereka membawa bekal dari rumah. Tapi orang-orang yang akan memanen padi itu sama sekali tidak kelihatan.
              Setelah kami makan, Reni pergi, katanya dia mau menyusul suaminya yang lagi memancing di kali. Aku bersandar di tiang penyangga atap sambil menikmati tiupan suling Ali.
Di sudut Iwan dan Adam bercanda, belum menegur aku.
“Aduh, aku lupa sesuatu, “ tiba-tiba Ali beranjank .
“Aku pulang sebentar yahh?”
              Saat yang sama Iwan juga beranjak pergi.
“ Wan, kamu mau kemana sihh?”.
“ Temani Ali, kamu disini saja dulu sama Adam.’’
“ Tapi.....”  suaraku berlalu di bawah angin. Keduanya telah jauh berlari di antara padi-padi yang menguning.
              “Sempurna , Kamu telah mengaturnya, Dam?”
“Nggak Lun, semua ini ide mereka. Mereka juga tahu kalau aku menyayangimu dari dulu. Jadi sekarang bagaimana , Lun ...?
“ Apa yang bagaimana ? “.
“Kita...”
               Sesaat kutatap wajah itu, satu alisnya terangkat naik diikuti mata elangya.
Aku tersenyum tipis. Diam-diam aku merasa senang, bahagia. Inikah cinta? Tapi tiba-tiba teringat seseorang di kampus yang selama ini selalu peduli padaku. Selalu siap setiap kali aku butuh dan telah berkali-kali menyatakan perasaannya. Arga, haruskah aku mematahkan harapannya?

Sumber Poto : https://steemit.com/esteem/@mint.steemit/padi-menguning-di-tepi-danau-laut-tawar-af66c2272d4f3

No comments:

SEPATU BOOTS DI LAHAN KOSONG